Trip Pangalengan tgl 21-22 Mei kemarin ini, saya dibekali dengan kamera Olympus OM-D E-M10 Mark II. Pertama kali memakai kamera ini, beberapa hari sebelumnya, saya sudah diwanti-wanti oleh Enche untuk mengenal tombol-tombol dan akses menunya karena dia tidak ikut dalam trip kali ini. Karena sibuk, saya pun baru mulai menyentuh kamera ini satu hari sebelum keberangkatan.
Intinya, saya mengecek dimana mode dial P, A, S, M, kemudian mempelajari cara mengganti ISO, shutter dan bukaan. Selanjutnya, saya diberitahu bahwa kamera ini ada fitur layar sentuh. Kalau ada settinggan yang tidak tahu mau cara mengganti settingan lain, tinggal sentuh menu yang ada di layar LCD nya saja untuk mengakses settingan. Selain itu, auto fokusnya juga bisa dipilih dengan cara menyentuh layar untuk bagian yang mau difokus. Wow… mudah sekali. Makin pede lah saya untuk menggunakan kamera ini tanpa mempelajari lebih lanjut.
Tambahan dari Enche, kamera ini mempunyai 5 axis stabiliser juga. Jadi, kamera ini bisa membantu menstabilkan getaran pada tangan saat kita menggunakan speed yang agak lambat. Dibekali lensa Olympus M. Zuiko Digital ED 14-150mm 1:4-5.6, lensa macro Olympus 60mm F/2.8 Macro dan M.zuiko 25mm/1.8 yang kabarnya bagus untuk foto narsis, saya juga diingatkan Enche supaya tidak malas mengganti-ganti lensa (hihihi… sudah ketahuan belangnya).
Berangkatlah kita menuju Pangalengan.
Meskipun sudah keseringan ikut dalam trip ini, saya tidak pernah bosan dan selalu antusias untuk ikut serta. Bagaimana tidak? Suasana dan pemandangan maupun cuacanya tidak pernah sama setiap kali saya menginjakkan kaki di tempat ini.
Pengalaman kali ini pun berbeda. Mungkin terpengaruh dengan gaya High Key, saya kebanyakan mengambil foto-foto yang overexpose.
Untuk warna merah dan hijaunya juga natural dan tertangkap warnanya dengan baik dan alami oleh kamera. Untuk beberapa kamera, warna merah merupakan warna yang sulit dijinakkan.
Disaat teman-teman mulai bernarsis ria, saya teringat dengan lensa 25mm dan mencobanya dengan bukaan terbesarnya f/1.8.
Untuk keadaan sangat kurang cahaya, kamera ini tidak berdaya untuk mendapatkan fokus. Akhirnya saya pun menyerah dalam upaya mengambil foto dalam perjalanan menuju bukit Nini karena hanya dibekali dengan cahaya bulan.
Saya sangat senang dengan rentang fokalnya yang bisa maksimal sampai 150mm (ekuivalen dengan di APS-C 300mm), karena di trip sebelumnnya saya hanya menggunakan maksimal di rentang 70mm ataupun di 135mm.
Berikut beberapa foto di rentang 150mm.
Saya juga berhasil menangkap warna sebelum sunrise.
Loh? Foto sunrisenya mana?
Karena kegirangan dengan lensa zoomnya, saya celingak celinguk kesana kemari dan telat mengambil posisi yang pas. Dan hasilnya di posisi saya berdiri, malah terjadi flare. Sibuk cari posisi dan setting, matahari sudah tidak sabar dan makin meninggi. Telat de. Hihihi… mohon maaf kesalahan bukan pada kameranya, tapi pada empunya yang kurang disiplin. ^^
Namun, kekecewaan itu berakhir dengan adanya foto ray of light-nya.
Di waktu bebas yang diberikan kepada peserta, saya mengambil kesempatan ini untuk mengunjungi makam Bosscha. Berhubung sudah berkali-kali kesini, belum sekalipun saya mampir. Saya pun nekad jalan kaki. Di tengah perjalanan menuju ke sana, ternyata ada kebun teh tua dan ada beberapa orang lagi nongkrong disana.
Pemandangannya bagus. Mata saya tertarik dengan susunan pepohonan dan bangku di tengahnya.
Berharap punya foto narsis disini, saya pun meminta salah satu pengunjung untuk mengambil fotoku yang sedang duduk di bangku itu.
Yeay… senangnya hatiku. Lalu saya pun bertanya kemana arah menuju makam Bosscha. Menurut info, letaknya tidak jauh lagi di depan. Namun, kok tidak ketemu-ketemu. Takut tersesat dan jalan pulang yang lumayan memakan waktu lagi ditambah lelahnya kaki ini. Saya pun memutuskan untuk kembali ke penginapan.
Sambil mereview foto di perjalanan pulang, tiba-tiba sadar, kalau foto narsis saya sepertinya mendadak ada muncul pohon di atas kepala. Huahuahua… inginnya si ambil ulang kembali, tapi merasa ga enak juga kalau nanti ketemu dengan pengunjung yang tadi. Sudah minta tolong, sekarang malah saya minta ulang lagi. Hahaha… ada keraguan. Akan tetapi, daripada nanti menyesal, saya memberanikan diri untuk kembali lagi ke tempat tadi.
Pengunjung di tempat ini sudah semakin ramai. Belum sempat minta tolong untuk difoto ulang, saya malah diajak foto bareng. Saya disangka turis dari luar negeri. OMG.. saya asli Indonesia kok. Akhirnya, terjadilah narsis di atas pohon dengan pengunjung-pengunjung yang antusias foto bareng.
Selesai foto bareng, saya minta tolong lagi foto yang sama, namun kali ini dengan sopan menginfokan supaya pohonnya diusahakan ada yang nongol di kepala saya ya. Makasih makasih… maaf merepotkan. Hehehe.
Trip kali ini ditutup dengan mengunjungi Danau Cisanti. Sekilas dilihat, tempat ini memang tidak fotogenik. Tempat ini bukanlah suatu tempat yang bisa dengan mudahnya tinggal mengarahkan kamera lalu mendapatkan foto yang bagus. Selain ini, tempat ini haruslah didukung dengan lighting alami yang bagus. Di tempat inilah, visi seorang fotografer diuji untuk mendapatkan komposisi yang bagus. Saya sendiri awalnya juga tidak menyukai tempat ini, namun dipaksa Enche untuk mengelilingi danau ini dan belajar mencari komposisi. Maka di trip kali ini pun, saya menyempatkan diri untuk mengelilingi Danau ini. Kebetulan, hari itu cuaca lumayan mendung dan cahayanya kurang pas, namunn di detik-detik terakhir, ada sedikit cahaya tersembur di balik awan. Maka saya pun mengambil beberapa foto.
Berikut foto di Danau Cisanti dengan diedit menggunakan Lightroom dan plugin NIK.
Selain pemandangan dan refleksi, tempat ini juga banyak capung merah.
Saya sudah cukup puas dengan hasil-hasil foto di atas. Sepulangnya dari trip ini, saya pun menyerahkan hasil foto saya ini ke Enche. Rupanya yang didapat adalah ceramah-ceramah. Hahaha… Soalnya foto saya settingannya banyak yang amburadul, di luar foto yang saya tunjukkan di atas ya. 🙂
Komentarnya, banyak sekali foto yang tidak disiplin, misalnya shutter speed yang terlalu lambat di atas perahu atau di tempat yang kurang cahaya.
Loh? Bukannya ada 5 axis stabiliser. Pikirku bisa membantu goyangan/getaran di tangan makanya saya tidak begitu peduli dengan shutter speednya. Melalui penjelasan lebih lanjut, stabiliser ini memang membantu, namun membantu di beberapa stop saja, dan bukan selambat apapun shutternya juga tidak shake. Oalah… salah pengertian.
Foto capung pun dikomentari, ditanya mengapa tidak memakai lensa macro, malah hanya pakai lensa yang dizoom sampai 150mm. Padahal dibawa. Dan untuk lensa 25mm nya, mengapa hanya ada beberapa foto saja.
Maafkan daku. Memang saya tidak biasa ganti-ganti lensa. Itu pun ganti karena ingat kalau 25mm itu bagus untuk portrait dan hanya sekali dipakai saat teman-teman mau narsis. Selebihnya saya menggunakan lensa zoomnya.
Pengalaman yang bisa dipetik dari hunting kali ini adalah pelajari jauh jauh hari sebelum hunting dengan kamera barunya. Jangan besok sudah mau berangkat hunting, hari ini baru beli kamera baru ataupun lensa/tripod baru. Kita akan kewalahan.
Kalau tipe huntingnya ga suka repot ganti lensa (seperti saya ini), bisa pertimbangkan lensa zoom yang panjang (sapu jagat), namun ada hal yang harus dikorbankan, yaitu kualitasnya yang menurun.
Demikian sharing saya kali ini. Semoga terhibur dan bermanfaat.
NB: Untuk foto-foto yang tidak ditampilkan foto sebelum dan sesudah, hanya diedit sebatas eksposur, clarity maupun saturasinya.
Bagi yang senang travel dan ingin ikut tour fotografi kami, silahkan periksa jadwal di halaman ini atau kontak 0858 1318 3069/infofotografi@gmail.com
Waah jadi pengin ikutan ke sana…:)
mantap… olympus punya kelas tersendiri, yg menggiurkan adalah trilogi lensa PRO-nya….
Lensa PRO zoomnya kabarnya akan nambah lagi.