≡ Menu

Sensor biasa vs sensor X-Trans Fuji, tinjau plus minusnya secara teknis

Selama ini kita kerap dibingungkan dengan jargon di kamera digital khususnya Fuji yang mengklaim sensornya berbeda, yaitu X-Trans sensor (misal di X-T20, X-T2 dsb) dan seolah lebih unggul dari kamera lain. Benarkah demikian? Saya akan mengulasnya untuk anda melalui artikel kali ini, selamat membaca.

Bagaimana kamera ‘menangkap’ warna

Warna RGBKamera menangkap warna warni di alam dengan cara menggabung tiga warna dasar yaitu merah (Red), hijau (Green) dan biru (Blue) dan hebatnya pencampuran dari tiga warna ini bisa menghasilkan bermacam warna lainnya. Di era fotografi film, pada sebuah roll film terdapat tiga lapis emulsi yang peka terhadap warna merah hijau dan biru. Di era digital, sensor kamera mengandalkan filter warna RGB yang cara kerjanya sebetulnya cukup simpel (atau rumit, tergantung bagaimana anda menyikapi ini). Bila seberkas cahaya polikromatik (multi warna) melalui filter merah, maka warna apapun selain warna merah tidak bisa lolos melewati filter itu. Dengan begitu piksel yang diberi filter merah hanya akan menghasilkan warna merah saja, demikian juga dengan piksel lainnya yang diberi filter hijau dan biru. Artinya setiap piksel hanya menghasilkan satu warna saja antara merah, hijau atau biru yang tersusun dalam sebuah matrix warna yang berulang. Diperlukan komputer di kamera untuk ‘menterjemahkan’ warna sesungguhnya dari kombinasi RGB yang dihasilkan sensor kamera tersebut. Hal yang sama kita bisa jumpai juga di layar LCD seperti komputer atau ponsel yang tersusun dari piksel RGB.

Proses image capture

Bayer CFA

Sesuai nama penemunya yaitu Bryce Bayer, seorang  ilmuwan dari Kodak pertama kali memperkenalkan teknik ini di tahun 1970. Sensor dengan desain Bayer Color Filter Array (CFA) termasuk sensor paling banyak dipakai di kamera digital hingga saat ini. Keuntungan desain sensor Bayer adalah desain mosaik filter warna yang simpel cukup satu lapis, namun sudah mencakup tiga elemen warna dasar yaitu RGB (lihat ilustrasi di atas). Kerugiannya adalah setiap satu piksel pada dasarnya hanya ‘melihat’ satu warna, maka untuk bisa menampilkan warna yang sebenarnya perlu dilakukan teknik color sampling dengan perhitungan rumit berupa interpolasi (demosaicing). Perhatikan ilustrasi mosaik piksel di bawah ini, ternyata filter warna hijau punya jumlah yang lebih banyak dibanding warna merah dan biru. Hal ini dibuat mengikuti sifat mata manusia yang lebih peka terhadap warna hijau.

Bayer_pattern_on_sensor_profile

Kekurangan sensor Bayer yang paling disayangkan adalah hasil foto yang didapat dengan cara interpolasi tidak bisa menampilkan warna sebaik aslinya. Selain itu kerap terjadi moire pada saat sensor menangkap pola garis yang rapat seperti motif di kemeja atau pada bangunan. Cara termudah mengurangi moire adalah dengan memasang filter low pass yang bersifat anti aliasing, yang membuat ketajaman foto sedikit menurun.

Sensor X Trans

Sensor dengan nama X Trans dikembangkan secara eksklusif oleh Fujifilm, dan digunakan pada beberapa kamera Fuji seperti X-E2, X-T20 dan X-T2. Sebenarnya desain filter warna di sensor X Trans merupakan pengembangan dari desain Bayer yang punya kesamaan bahwa setiap piksel hanya bisa melihat satu warna. Bedanya, Fuji menata ulang susunan filter warna RGB-nya. Bila pada desain Bayer kita menemui dua piksel hijau, satu merah dan satu biru pada sebuah matrix 2×2, maka di sensor X Trans kita akan menemui pola matrix 6×6 yang berulang. Artinya dalam satu matrix 2×2 di sensor Bayer didapatkan satu piksel merah, dua piksel hijau dan satu piksel biru. Sedangkan di matrix X-Trans 3×3 didapat dua piksel merah, lima piksel hijau dan dua piksel biru.

Nama X trans sepertinya diambil dari susunan piksel hijau dalam grid 6×6 yang membentuk huruf X seperti contoh di bawah ini.

X Trans

Fuji mengklaim beberapa keunggulan desain X Trans seperti :

  • tidak perlu filter low pass, karena desain pikselnya sudah aman dari moire
  • terhindar dari false colour, karena setiap baris piksel punya semua elemen warna RGB
  • tata letak filter warna yang agak acak memberi kesan grain layaknya film

Sepintas kita bisa setuju kalau desain X Trans lebih baik daripada Bayer, namun ada beberapa hal yang masih jadi kendala dari desain X Trans ini, yaitu hampir tidak mungkin Fuji akan memberikan lisensi X Trans ke produsen kamera lain (artinya hanya pemilik kamera Fuji tipe tertentu yang bisa menikmati sensor ini). Kendala lain adalah sulitnya dukungan aplikasi editing untuk bisa membaca file RAW dari sensor X Trans ini. Program editing foto seperti Lightroom akan lebih ‘ramah’ pada sensor mayoritas seperti Bayer karena kesamaan desainnya tidak peduli apapun merk kameranya. Jadi pemakai X-Trans akan lebih disarankan pakai JPG saja, atau kalaupun pakai RAW ya perlu usaha ekstra untuk editing khususnya mendapat akurasi warna yang diinginkan.

Lalu, bagaimana kesimpulannya?

Fuji mungkin menyadari juga kalau tidak semua orang suka dengan warna yang dihasilkan sensor X-Trans, maka dia menjual kamera dengan sensor ‘biasa’ seperti X-A5 dan baru ini dirilis adalah X-T100. Kabarnya dengan resolusi 24 MP, sensor ‘biasa’ pun sudah tidak perlu low pass filter sudah cukup aman dari moire, yang artinya keunggulan X-Trans yang membanggakan tanpa low pass filter jadi tidak terlalu signifikan. Lalu kemudahan editing juga menjadi alasan banyak orang menghindari kamera dengan X-Trans, bahkan saat Fuji X-T100 dirilis banyak juga antusiasme fotografer yang senang saat menyadari kalau sensor X-T100 ‘turun kelas’ jadi sensor Bayer yang dianggap ‘biasa’. Nah buat anda yang sudah menyukai warna dari X-Trans ya tentunya perlu terus bertahan di kamera Fuji X tipe tertentu yang umumnya kelas atas, dan berharap Fuji terus bertahan dengan desain X-Trans di masa depan, sambil menunggu dukungan yang lebih baik untuk pengolahan RAW X-Trans dari Lightroom dan semacamnya.


Ikuti kursus dan tour fotografi untuk menambah wawasan dan karya foto anda. Info selengkapnya disini.

About the author: Erwin Mulyadi, penulis dan pengajar yang hobi fotografi, videografi dan travelling. Sempat berkarir cukup lama sebagai Broadcast Network TV engineer, kini Erwin bergabung menjadi instruktur tetap untuk kursus dan tour yang dikelola oleh infofotografi. Temui dan ikuti Erwin di LinkedIn dan instagram.

{ 2 comments… add one }
  • Fakdashi April 17, 2021, 3:55 pm

    Pantesan berat banget post-process foto RAW Fujifilm di Lightroom

  • Jinan March 14, 2020, 5:04 pm

    Kalau XTrans untuk Lightroom susah editingnya, apakah untum Adobe Photoshop juga susah?

Leave a Comment