≡ Menu

Review kamera mirrorless FujiFilm X-A7

Usai acara peluncuran FujiFilm X-A7 di Kuningan Jakarta, tak lama berselang kami pun mendapat kesempatan untuk mencoba kamera teranyar dari Fuji yaitu Fuji X-A7 dengan lensa kit XC 15-45mm OIS PZ selama beberapa hari, dan berikut adalah review singkatnya.

FujiFilm X-A7 dengan lensa kit XC 15-45mm f/3.5-5.6 OIS PZ

Sebagai penerus dari X-A5, Fuji berhasil menghadirkan sang penerus yang lebih menarik bagi milenial karena disediakan layar LCD besar 3,5 inci dengan rasio wide 16:9 yang serasa melihat ke layar smartphone. Kreator konten video juga akan menyukai X-A7 karena layarnya bisa dilipat ke depan untuk vlogging, dengan resolusi 4K 30fps tanpa crop, dengan dukungan mic input. Penyuka fotografi akan mendapati X-A7 ini menggoda dengan sensor APS-C 24MP Bayer (bukan X-Trans) yang dibekali berbagai film simulation dan kendali manual lengkap termasuk shutter elektronik dan dukungan flash hot shoe.

Terdapat 425 titik pendeteksi fasa PDAF di Fuji X-A7, yang bisa diubah menjadi 117 titik melalui menu. Titik sebanyak ini menyamai yang ada di Fuji X-T3.

Lantas apakah kamera entry-level ini punya kompromi dalam kinerjanya? Justru yang mengesankan, sensor gambar di X-A7 malah dilengkapi dengan 425 titik pendeteksi fasa (persis sama seperti di Fuji X-T3) untuk auto fokus yang cepat dan bisa mengikuti obyek, apalagi kini didukung deteksi mata. Secara umum kinerja auto fokusnya justru berada diatas Fuji X-T100, dan boleh dibilang setara dengan Fuji kelas menengah seperti X-T20. Demikian juga dengan kinerja ISO tingginya bisa dibilang setara dengan kamera yang kelasnya lebih diatasnya. Kompromi yang paling bisa dirasakan adalah dalam kecepatan memotret kontinu yang ‘hanya’ bisa 6 fps, meskipun dalam banyak kebutuhan 6 fps masih terasa mencukupi.

Hal paling berbeda yang dialami saat mencoba Fuji X-A7 adalah antarmuka baru dengan implementasi layar sentuh yang lebih baik. Kini pengguna bisa menyentuh dan menggeser beberapa pengaturan yang disediakan seperti kompensasi eksposur, depth effect dan beauty effect dan melihat hasilnya sebelum memotret. Hanya saja untuk yang sering mengakses Quick Menu (Q) di kamera Fuji, akan bingung karena tidak ada tombol Q di X-A7 ini, jadi perlu masuk dulu ke menu di layar baru menyentuh simbol Q untuk menampilkan daftar isi Quick menu. Adanya joystick di X-A7 juga jadi penanda kalau kamera ini adalah satu generasi dengan semua Fuji 2019 yang pakai joystick seperti X-T3, X-T30 dan X-E3. Saya sendiri senang kalau ada joystick di sebuah kamera, asalkan fungsinya adalah sebagai pelengkap tombol navigasi 4 arah. Agak aneh kalau desain baru Fuji ini malah menghilangkan tombol 4 arah dan diganti dengan joystick sebagai satu-satunya cara menavigasi 4 arah, saya perlu membiasakan/ adaptasi dengan cara baru ini.

Tampilan antarmuka baru di layar Fuji X-A7, hanya dua Fn di kiri yang bisa di kustomisasi, selebihnya sudah tetap dan tidak bisa diganti-ganti

Secara fisik, kamera Fuji X-A7 termasuk ringan, dengan bahan plastik polikarbonat yang cukup solid, namun dengan grip yang kurang dalam sehingga saya kurang merasa mantap saat menggenggam. Terdapat dua roda untuk mengatur setting, dan hanya ada satu tombol Fn yang bisa dikustomisasi, yang sayangnya secara default dia berfungsi sebagai tombol rekam video. Padahal saya ingin mengganti tombol ini menjadi tombol ISO, tapi nanti repot saat hendak rekam video tidak ada tombol khusus (biasanya di kamera lain ada tombol video khusus berwarna merah). Ada port mic input 2,5mm di sisi kiri, dan ada port HDMI dan USB-C di sisi kanan, dan kita bisa mengisi daya dengan menghubungkan ke USB-C ini, misal pakai powerbank.

Mode memotret yang lengkap, dan ada dua roda pengaturan setting, plus tombol Fn yang secara default dipakai untuk merekam video

Saat dicoba, pertama saya harus beradaptasi dengan lensa kit baru berjenis powerzoom ini, yang merespon sesuai putaran yang kita lakukan. Diputar sedikit, motor zoom di lensa akan maju mundur dengan pelan. Diputar jauh sampai mentok, maka motor zoom akan maju mundur dengan cepat. Saya bukan fans dari lensa jenis powerzoom, tapi harus diakui lensa jenis ini cocok untuk merekam video sambil zoom-in atau zoom-out. Hal kedua yang saya perlu biasakan adalah beradaptasi dengan gaya baru Fuji dalam menata antarmuka layar sentuhnya. Tapi begitu sudah merasa familiar, maka saya pun coba memotret dan merekam video dengan Fuji X-A7 ini dalam berbagai keadaan, dengan berbagai macam film simulation dan mode eksposur yang berbeda, seperti foto-foto berikut ini (semuanya JPG dari kamera, tidak di edit) :

Saya memanfaatkan layar lipat putar untuk mengambil foto high-angle seperti ini
Tidak ada FS Acros di X-A7, saya akali dengan memilih FS Monochrome, tapi saya naikkan Shadow +2 dan Highight juga +2 untuk menambah kontras hitam putihnya
Film Simulation Provia (Standar) tapi setting warna saya naikkan +1 untuk menambah pekat warna
Seorang nenek duduk di tepi sungai, saya foto dengan FS Classic Chrome untuk kesan warna klasik
LCD lipat juga membantu untuk saya mengambil foto dengan low-angle seperti ini
Saat memakai ISO 3200 hasilnya masih tampak baik dengan noise yang minimal
Memakai Scene Mode Flower, sejujurnya saya tidak melihat ada yang berbeda dengan memakai Scene mode Flower dengan memotret dengan cara biasa
Film Simulation Velvia (Vivid) saya pilih untuk menaikkan kontras dan saturasi, meski bagi saya masih kurang terasa ‘Vividnya’
Ketajaman lensa kit termasuk baik, demikian juga dengan distorsi lensa ini masih oke. Foto diambil dengan FS Velvia dan saya dapati kontrasnya terlalu tinggi dan metering kamera cenderung sedikit under.

Sebagai kesimpulan, saya memang menikmati saat-saat memotret dengan Fuji X-A7 ini dalam berbagai keadaan, khususnya kemudahan layar lipat+sentuh dan juga kinerja auto fokusnya yang oke. Sebagai kamera pemula, Fuji X-A7 sudah jauh meningkat dengan kemampuan menyamai kamera yang lebih mahal, sehingga saat ini X-A7 lebih tepat disebut sebagai kamera untuk anak muda yang cocok untuk membuat konten di media sosial (berkat kemudahan layar sentuh, ada vertikal video, ada timer video, dan WiFi Bluetooth juga). Upaya Fuji menjadikan X-A7 ini sebuah kamera yang memberi pengalaman serasa pakai smartphone menjadi indikator bahwa produsen kamera saat ini mulai merasakan segmen marketnya digerus oleh smartphone, dan mereka tentu harus melakukan sesuatu untuk meraih kembali market tersebut.

Tonton review Fuji X-A7 di Youtube Infofotografi kami juga

Bagi yang ingin mempelajari kamera Fuji atau lainnya, bisa melalui kursus kilat dasar fotografi, privat atau baca e-book kami.

About the author: Erwin Mulyadi, penulis dan pengajar yang hobi fotografi, videografi dan travelling. Sempat berkarir cukup lama sebagai Broadcast Network TV engineer, kini Erwin bergabung menjadi instruktur tetap untuk kursus dan tour yang dikelola oleh infofotografi. Temui dan ikuti Erwin di LinkedIn dan instagram.

{ 7 comments… add one }
  • Maskur July 13, 2022, 10:30 am

    Terimakasih pak, akhirnya saya membeli FujiFilm X-A7

  • Yayan October 23, 2021, 2:00 pm

    Salam,
    Kak untuk 1 file JPG ukuran 19:6 (kondisi pengambilan gambar standar dan cukup cahaya) di kamera X A7 ini berapa MB kak..

    Terimakasih

  • Meliawati March 18, 2021, 1:18 pm

    Halo Kak, mohon bantuannya, saya baru memakai XA7 ini dan menemukan sulit mengunci ISO yg kita pilih, misal sdh diset di 200, stlh take, hasilnya ISO akan menyesuaikan naik turun sendiri, padahal saya tidak memilih auto ISO. Gimana caranya ya spy tetep di angka yg kita set? Terima Kasih, Kak.

    • Erwin Mulyadi March 19, 2021, 10:43 am

      Ini aneh, kami belum pernah menemukan kasus ISO spt ini, semestinya bila ISO tidak di set ke Auto ya dia akan tetap / tidak berubah.

Leave a Comment