≡ Menu

Mengapa Sony unggul dan Fujifilm harus waspada?

Di artikel sebelumnya tentang Olympus dan Nikon, saya membahas bahwa perusahaan yang unggul adalah yang memiliki pabrik untuk membuat sensor gambar sendiri untuk divisi kameranya. Di artikel ini saya akan lebih dalam menjelaskan mengapa dan apa signifikannya.

Kenapa kemampuan membuat sensor penting? Dengan kemampuan membuat sensor sendiri, Sony mendapatkan competitive advantage dengan mengetahui lebih dulu teknologi sensor yang akan dan sedang dibuat, sehingga dapat mempersiapkan lebih awal dalam hal hardware (pengembangan processor kamera, lensa) dan juga softwarenya.

Perusahaan lain seperti Nikon, Fuji, Olympus dll yang memesan image sensor ke Sony atau ke pabrikan lainnya akan mengalami perlambatan minimum 6 bulan untuk desain, produksi, modifikasi sensor sesuai kebutuhan dan kompatibilitas ke lensa-lensanya. Pada kenyataannya, saya menemukan banyak perusahan kamera yang ketinggalan 10 bulan atau bahkan satu tahun. Enam bulan sampai setahun adalah waktu yang lama, saat kamera tersebut diluncurkan pun, terasa teknologinya sudah usang.

Kedua adalah soal harga, memesan sensor dari perusahaan lain kemungkinan besar biayanya lebih tinggi, sehingga harga kamera juga lebih tinggi melemahkan daya saing di pasar.

Ketiga, pabrikan sensor seperti Sony punya kemampuan untuk menyimpan sensor yang bagus untuk divisi kameranya sendiri untuk menjaga keunikan dan keunggulannya.

Tiga keuntungan utama ini menyebabkan Nikon, yang dalam 10 tahun belakangan merupakan pabrikan kamera No.2, yang posisinya diatas Sony menjadi goyah, dan seiring dengan pasar yang pindah dari kamera DSLR ke mirrorless, maka Sony berpeluang mengambil alih tempat kedua dari Nikon sebagai produsen kamera yang bisa tukar ganti lensa dalam waktu yang tidak lama lagi.

Bagaimana dengan Fujifilm?

Fujifilm seperti yang saya bahas di artikel dan video Youtube ini, berkonsentrasi pada sistem/format sensor APS-C (Fuji X) dan medium format (MF), kedua sensor gambar format Fuji tersebut disupply oleh Sony. Beberapa tahun belakangan (dari sekitar tahun 2014), Fuji tidak mengalami masalah untuk berkembang, karena Sony lebih fokus ke pengembangan format full frame terutama seri A7.

Tapi mulai awal tahun 2019, Sony sepertinya mulai fokus mengembangkan lini APS-C nya yang ditandai dengan peluncuran kamera baru diantaranya A6100, A6400, dan A6600 dan beberapa lensa APS-C seperti 16-55mm f/2.8 dan 70-350mm untuk menggairahkan kembali pasar kamera APS-C. Selain peluncuran beberapa kamera dalam satu tahun, Sony juga meluncurkan kampanye #vlogforsony untuk menjaring content creator muda.

Sony mulai menggairahkan kamera APS-C nya, seri A6xxx.

Dengan aktifnya Sony di segmen APS-C (7.5-20 juta) yang sangat dinikmati Fuji dan Canon lima tahun belakangan ini (2014-2019), otomatis akan mengubah peta persaingan dan menyempitkan pasar Fujifilm.

Mungkin segmen yang masih aman bagi Fuji adalah pasar mirrorless medium format, karena belum ada pesaing yang signifikan kecuali Hasselblad X1D, tapi Hasselblad harganya jauh lebih mahal. Meski demikian, pasar sistem kamera medium format jauh lebih kecil daripada full frame apalagi APS-C.

Apakah Sony membuat kamera terbaik?

Mungkin banyak yang akan mengira bahwa Sony adalah kamera paling ideal dan sempurna saat ini. Tapi dalam pengalaman saya Sony justru tidak berambisi untuk membuat kamera yang sempurna, kamera Sony dirancang untuk “good enough.” Setiap kameranya punya kelemahan dan sepertinya memang disengaja. Tujuan akhirnya untuk mendapatkan keuntungan maksimal karena ketidakpuasan fotografer akan satu kamera akan membuat mereka lapar akan kamera baru yang akan Sony keluarkan.

Saat saya melihat lebih jauh lagi, meskipun Sony unggul di era kamera mirrorless saat ini, sebenarnya belum mantap posisinya. Peta dominasi perusahanan kamera dari sejarahnya didominasi oleh perusahaan yang jago membuat lensa (opto-mechanical seperti Leica & Nikon di jaman konflik/perang dunia (1900-1970) telah bergeser ke perusahaan yang jago elektronik seperti Canon, Panasonic dan Sony, dan kini (2016-2019) telah bergeser lagi ke perusahaan yang pintar dan berinvestasi dalam pengembangan software (Artificial Intelligence, computational photography, user interface design dan konektivitas ke Internet). Dalam kata lain, saat ini pengambilan gambar sudah didominasi oleh alat baru yang mungkin 15 tahun yang lalu tidak pernah dianggap yaitu kamera ponsel.

Setiap perubahan besar tentunya akan menimbulkan pro & kontra, contohnya seperti perubahan kamera film ke digital. Demikian juga perubahan teknologi AI dan computational photography tentunya cukup revolusioner. Untungnya sebagian perusahaan kamera terutama Panasonic Lumix, Fujifilm, Sony, Phase One dan bahkan perusahaan yang terkenal tradisional seperti Leica telah menyadari hal ini dan mulai melakukan investasi yang cukup besar ke teknologi computational photography dan beberapa telah menerapkannya ke kamera terbaru mereka meskipun masih tahap basic.

Di sisi lain, juga ada ganjalan dalam hati saya, karena kalau kita tinggal bidik, jepret dan kamera otomatis memilih setting yang paling optimal dan mengedit foto sesuai selera pasar sehingga setiap foto yang kita dibuat mirip-mirip dengan apa yang di post orang-orang lain di sosial media untuk diterima klien atau memaksimalkan jumlah like, apa gak jadi membosankan?

Dari pengalaman saya, yang membuat saya tidak bosan memotret dalam sepuluh tahun belakangan ini justru dari proses pemikiran, upaya, perjalanan sampai editing daripada hasil akhir foto itu sendiri.

Selamat liburan akhir tahun 2020.

About the author: Enche Tjin adalah pendiri Infofotografi, seorang fotografer, instruktur fotografi, penulis buku dan tour photography organizer. Saat ini, ia bertempat tinggal di Jakarta. Temui Enche di Instagram: enchetjin

{ 10 comments… add one }
  • Saleh Zubeidi January 31, 2020, 1:53 pm

    Boleh minta topik ulasan tentang kamera2 OLYMPUS ?

  • Alfath January 26, 2020, 7:00 pm

    Kalau sensor X-trans tetap produksi Sony emangnya yah?

  • Adrian December 16, 2019, 3:58 pm

    Hi, mau tanya ya. Saya berencana mau membeli Sony a7 III, selain lensa kit yang ada, ada rekomendasi lensa untuk membuat foto2 potrait (dgn efek bokeh). Saya berpendapat 50mm f/ 1.8 sudah cukup baik, tapi kalo ada rekomendasi lain mohon masukannya. Terima kasih.

    • Enche Tjin December 16, 2019, 8:56 pm

      50mm f/1.8 bisa, tapi lebih bokeh yang 85mm f/1.8

      • Adrian December 17, 2019, 2:27 pm

        Terima kasih atas suggestionnya. Satu lagi mau tanya, untuk kualitas gambar lebih bagus mana ya antara Fujifilm XH-1 atau Olympus OM-D EM5 Mark III ya? Ini pertanyaannya agak menyimpang dari topik, tapi penasaran juga tentang sistem Micro Four Third itu cocok untuk user seperti apa. Makasih sebelumnya.

  • Airlangga December 12, 2019, 9:29 pm

    Kalau menurut Pak Enche Tjin, baik dari sisi rasional melihat perkembangan masing-masing perusahaan maupun feeling Bapak sebagai seorang fotografer, diantara Canon, Sony, dan Nikon, mana yang akan menjadi pemimpin pasar di era mirrorless kedepannya? Thx

    • Enche Tjin December 14, 2019, 8:26 am

      Kalau populer tetap Canon diikuti oleh Sony.

  • kristian December 9, 2019, 9:03 pm

    ya.. pada akhirnya,dijaman kamera modern ini, semua hanya masalah spec diatas kertas. semua merk bisa membuat kamera dengan spec tertinggi nya selayaknya smartphone, pc, atau laptop.
    semua merk bisa punya kwilitas yang sama di spec yg sama.
    mungin untuk fuji masih ada pembeda, dimana lini seri X masih mempunyai di knob speed, iso, aparture yang seperti lensa manual. tapi hanya lini seri x-t dan x-h yg lengkap knob nya. seharusnya fujifilm mengaplikasikan knob yang lengkap ini di seri2 kamera pemula, agar pengguna bisa mudah belajar dasar2 fotografi tanpa masuk2 kedalam menu yang rumit.
    maaf jadi “curhat dong mama ” hahahah.
    tapi begitu lah kondisi nilai kamera saat ini. semoga pabrikan tetap merilis kamera yg punya esensi, bukan hanya spesifikasi.

Cancel reply

Leave a Comment