≡ Menu

Review Sigma DP0 Quattro ke Tibet 2018

Sebenarnya kamera Sigma DP0 Quattro ini telah saya miliki sejak 2015. Sebelumnya, saya memang telah memiliki beberapa kamera Sigma, diantaranya DP2 dan DP3 Merrill. Di Indonesia tidak ada yang menjualnya, jadi saya membeli kamera DP0 Quattro ini di Singapura.

Dari bentuknya saja, kamera ini terlihat aneh, grip/pegangannya tidak ke depan tapi kearah belakang, dan lensanya panjang ke depan tapi tidak bisa diganti/tukar. Sementara body kameranya panjang dan tipis. Sepertinya kamera DP Quattro ini dirancang dengan desain masa depan.

Bentuknya yang tidak konvensional ini sering membuat teman-teman saya selalu penasaran dan menanyakan ke saya tentang kamera yang unik ini. Bagi saya hal ini menyenangkan karena saya senang menjelaskan tapi kalau terlalu banyak menjelaskan momen bagus untuk motret malah bisa lewat hehe.

Yang unik dari kamera ini bukan hanya dari desainnya, tapi sensor gambar yang digunakan tidak sama seperti kamera digital pada umumnya. Nama sensor ini adalah Foveon yang memiliki tiga lapisan, lapisan teratas 20MP dan dua lapisan dibawahnya 4.9MP, datanya kemudian digabungkan membuat gambar yang tajam dan kaya warna. Tidak diperlukan filter AA/Low Pass untuk jenis sensor ini sehingga ketajamannya maksimal.

Dalam spesifikasinya, Sigma mengklaim bahwa kamera ini beresolusi 29MP (dari 20+4.9+4.9 MP) dan setara dengan 33MP jika dibandingkan dengan kamera digital lain yang mengunakan sensor Bayer. Mungkin kalau dari hasil cetak memang bisa disetarakan, tapi kenyatannya maksimum resolusi yang akan didapat adalah 5424 x 3616 pixel atau sama dengan 19MP.

Hal yang kedua yang menarik adalah lensanya yang unik, yaitu 14mm f/4. Lensa ini setara dengan 21mm di full frame karena sensor Foveon Quattro ini berukuran APS-C dengan crop factor 1.5X. Lensa ini termasuk lebar, cukup oke buat landscape dan interior. Sayangnya bukaannya termasuk sedang saja, tapi cukup untuk pemandangan outdoor atau indoor tapi dengan tripod. Pastinya sulit membuat bokeh/blur latar belakang dengan kombinasi sensor dan lensa ini.

Keunggulan utama kamera ini tentunya adalah kualitas gambarnya yang tajam dengan warna yang kaya, tapi juga menimbulkan banyak akibat yang kurang menguntungkan, misalnya kinerja kamera jadi pelan, untuk memproses satu foto, dibutuhkan waktu sekitar 6-7 detik baru selesai ditulis di memory card, setelah itu baru kita bisa melihat hasil foto di playback. Kinerja ini tergolong sangat lambat, tapi sudah 2 kali lebih cepat daripada kamera seri Sigma DP Merill yang mencapai 15 detik per foto. Hal ini karena prosesor kamera harus memproses tiga layer data sekaligus dan menggabungkannya menjadi satu.

Selain itu, rentang ISO yang bagus untuk digunakan cukup sempit, yakni 100-400, lebih dari 400 memang tersedia untuk dipilih, tapi kualitas gambar jauh menurun karena munculnya noise/bintik-bintik foto. Di era dimana kamera lain ISO 1600-nya cukup baik, mungkin Sigma ini terasa kurang fleksibel di keadaan gelap, tapi begitulah karakteristik sensor Foveon yang memprioritaskan kualitas warna, bukan light sensitivity.

Kita bisa merekam foto RAW atau JPG di kamera ini, tentunya RAW akan lebih bagus dalam arti kita bisa mengeditnya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tapi file Foveon .X3F ini tidak bisa dibuka di software editing seperti Adobe Photoshop atau Lightroom, tapi harus dengan software Sigma Photo Pro (gratis bisa didownload). Ada juga software lain yang bisa memprosesnya seperti Iridient, tapi software ini setahu saya bebayar.

Selama tiga tahun ini, Sigma Photo Pro semakin diperbaharui dan lebih jarang hang/error dan terasa lebih cepat, tapi dibandingkan dengan software lainnya, Sigma Photo Pro ini tergolong masih lambat.

Tidak memiliki jendela bidik dan layar LCD tidak jelas saat digunakan di luar ruangan/cahaya terang. Hal ini sangat menghambat untuk memotret dengan komposisi yang presisi. Sigma sendiri telah berusaha mengatasi masalah ini dengan menrilis beberapa aksesoris untuk membantu seperti hoodloupe, jendela bidik optik dan grip yang dipasang dibawah kamera. Tapi menurut saya dengan aksesoris-aksesoris tambahan itu, kamera-nya terkesan besar (bulky) sekali dan tidak praktis untuk travel.

Bagi saya meskipun banyak kekurangannya, saya tetap menyukai kamera ini karena kualitas gambarnya yang unik dan beratnya yang relatif ringan (499 gram). Dalam tour ke Tibet awal November lalu, saya membawa kamera ini untuk mencakupi sudut pandang yang lebar, karena lensa yang saya bawa dengan Leica SL hanya sampai 24mm.

Berikut beberapa foto yang saya buat dengan Sigma DP0 Quattro di Tibet:

Foto Sigma dP0 Quatro bagus untuk high frequency detail seperti tekstur. Separasi detail seperti daun, detail pohon dan sebagainya sangat jelas.

Di kondisi indoor, Sigma DP0Q agak sulit digunakan karena ISOnya kalau terlalu tinggi kualitasnya jadi kurang maksimal. Di foto ini saya mengunakan ISO 400, f/4.5 dan 1/30 detik.

Sensor Foveon saya rasa kurang sesuai untuk foto sunrise dan sunset karena jika diarahkan langsung ke sumber cahaya, akan menimbulkan bentuk flare yang aneh seperti foto diatas.

Kesimpulan

Meski kamera ini cukup unik dan terkesan aneh, tapi saya merasa cukup cocok saya gunakan untuk aplikasi tertentu misalnya landscape dan interior. Bagi yang tidak menyukai lensa 21mm, ada pilihan Sigma DP yang lain yaitu DP1 (28mm), DP2 (45mm) dan DP3 (75mm). Yang ingin kameranya bisa ganti lensa bisa melirik Sigma SD Quattro, yang tersedia dalam sensor APS-C dan APS-H. Tapi menurut saya jika ingin bersabar, di tahun 2019 akan muncul kamera Sigma dengan L-mount dan berukuran full frame, yang akan compatible dengan lensa Leica L, dan Panasonic S.

Spesifikasi Sigma DP0 Quattro

  • 19 MP resolution, equiv. about 33 MP
  • APS-C Foveon sensor
  • 14mm f/4 (Equiv. 21mm)
  • Shutter: 30-1/2000 detik
  • 3″ 920.000 dots LCD
  • ISO 100-6400
  • Contrast Detect AF
  • P/A/S/M Exposure control
  • Filter 58mm
  • Berat: 499 gram
  • Dimensi: 16.1 x 6.7 x 12.6 cm

Bagi teman-teman yang ingin memaksimalkan kameranya, belajar fotografi atau ikut trip bisa kunjungi halaman jadwal kegiatan kursus kita. Atau belanja alat fotografi bisa hubungi kami di 0858 1318 3069.

About the author: Enche Tjin adalah pendiri Infofotografi, seorang fotografer, instruktur fotografi, penulis buku dan tour photography organizer. Saat ini, ia bertempat tinggal di Jakarta. Temui Enche di Instagram: enchetjin

{ 4 comments… add one }
  • Yuda November 19, 2018, 4:01 pm

    Koh maaf oot,

    sy ada budget 7-8 jutaan, pgn kamera dgn kebutuhan untuk bkin video youtube, kira2 yg rekomen apa koh?

    kmren2 udh mau ngambil sony a6000 tp skrg kpkiran sm canon 200d plih yg mana koh?

    Atau ada rekomen yg lain

    • Enche Tjin November 25, 2018, 9:23 pm

      Agak mepet ya, sebenarnya bagusnya mirrorless tapi yg fiturnya cukup lengkap seperti Canon M50. Tapi kalau dana terbatas coba pertimbangkan Panasonic GX85 yang fiturnya lengkap dan sekarang lagi diskon.

  • Agus November 16, 2018, 4:08 am

    Ada kemungkinan nggak yah koh Paveon diberikan akses ke Leica dan Panasonic sehingga ke 3 nya akan memiliki ff dengan teknologi sensor paveon, he he he

    • Enche Tjin November 16, 2018, 10:36 am

      Kayaknya tidak, Foveon masih banyak kekurangan seperti yang saya bahas diatas, jadi kemungkinan besar Leica dan Panasonic juga tidak berminat untuk membuat kamera dengan sensor Foveon.

Cancel reply

Leave a Comment