Meneruskan artikel saya sebelumnya tentang pandemi Covid-19, kali ini saya menulis tentang pandemi Coronavirus ini karena saya merasa ini adalah situasi yang luar biasa saat ini. Generasi saya beruntung lahir di zaman dunia relatif damai, dan pandemi ini adalah situasi yang mendekati situasi perang, cuma bedanya musuh kita tidak terlihat tapi sangat berbahaya.
Saat saya menulis, Indonesia sedang berada di dalam persimpangan. Di depan ada dua jalan dan pemerintah baik pusat, daerah dan rakyat punya pendapat yang berbeda-beda. Ada yang mendukung lockdown, ada yang tidak.
Apa bedanya lockdown dengan karantina?
Sebelumnya, kita harus tau dulu apa bedanya karantina atau lockdown? Pada dasarnya lockdown adalah suatu sistem aturan yang membatasi orang untuk meninggalkan dan masuk ke sebuah wilayah. Lockdown juga membatasi aktivitas orang di ruang publik tujuannya adalah untuk mengurangi penularan penyakit. Kata “karantina” sebenarnya sama saja dengan lockdown, cuma memang konotasi kata lockdown lebih negatif dan menyeramkan.
Lockdown ada tingkatannya: Lockdown parsial/wilayah hanya berlaku di sebuah wilayah yang kecil dan penduduk masih boleh keluar rumah asal tidak berkerumun. Lockdown total/penuh, berlaku di seantero negara dengan aturan tinggal di rumah yang sangat kekat, misalnya penduduk hanya boleh keluar rumah untuk hal-hal yang sangat penting saja.
Jika terjadi lockdown, pemerintah pusat atau lokal wajib untuk bertanggung jawab akan kesejahteraan sosial warganya, karena ekonomi daerah yang di lockdown akan berdampak. Banyak orang tidak bisa bekerja untuk mendapatkan penghasilan.
Apa yang bisa dipelajari dari negara lain?
Indonesia beruntung karena kita bisa menyaksikan dan mempelajari negara-negara lain dalam mengatasi pandemi ini. Ada beberapa negara yang telah mengadakan lockdown berskala nasional seperti India, Italy dan Malaysia atau ada juga negara yang mengadakan lockdown yang ringan atau parsial. Tapi ada juga negara yang tidak melakukan langkah pencegahan apa-apa.
Belanda & Inggris Raya (UK) pada awalnya tidak melakukan apa-apa, mereka hanya mengganggap virus ini seperti flu biasa, dan tidak membahayakan. Menurut data memang tingkat kematiannya hanya 2-3% dan yang kritis biasanya orang tua diatas 60 tahun saja. Mereka beranggapan wabah ini akan berhenti sendiri apabila sebagian besar penduduk sudah terinfeksi akan sembuh dengan sendirinya. Setelah itu orang tersebut tidak akan terkena lagi karena tubuhnya sudah imun terhadap virus ini. Lama-kelamaan virus ini kehabisan orang untuk di-infeksi dan akhirnya mati sendiri. Nama konsep ini adalah Herd Immunity.
Sebagian besar warga juga tidak keberatan dengan kebijakan ini, terutama di Belanda, karena dari dulu pemerintah disana sudah biasa tidak terlalu ikut campur dengan urusan rakyatnya. Kita tau di Belanda ganja, pelacuran dan LGBT legal disana.
Kebijakan tidak melakukan pembatasan dari Desember 2019 sampai pertengahan bulan Maret 2020 yang santai ini ternyata kurang berhasil, angka orang yang terinfeksi dan meninggal pesat di Belanda, dengan rasio kematian cukup tinggi yaitu sekitar 7%. Kemudian untuk mencapai herd immunity, ternyata perlu banyak sekali orang yang menjadi korban, menurut perkiraan ahli, perlu sekitar 60-70% populasi yang terinfeksi. Sebagian besar akan sembuh, tapi sekitar 5% akan kritis dan 2-3% akan meninggal, dan pemerintah juga sulit memisahkan penduduk yang tua dengan yang muda. Akhirnya pemerintah Belanda memutuskan untuk melakukan lockdown ringan.
Alasan lain kebijakan Belanda dan UK berganti arah adalah ternyata orang yang telah terkena virus ini dan kemudian sembuh atau dinyatakan negatif, tapi bisa terinfeksi kembali. Kejadian ini telah ditemukan di Korea Selatan. Salah satu pemicu tambahan yang membuat Inggris Raya mengubah kebijakannya menjadi lebih ketat adalah saat pangeran Charles, ahli waris tahta Inggris dan juga Perdana menterinya Boris Johnson juga terinfeksi virus ini dan harus menjalani isolasi di rumah sendiri.
Yang menarik adalah di India, meskipun jumlah populasinya bersaing dengan China, yaitu lebih dari 1.3 milyar orang, tapi tatanan sosial India jauh berbeda. Sebagian besar rakyat India masih tergolong miskin dan memiliki infrastruktur yang memprihatinkan, dan setelah mengumumkan total lockdown 21 hari sejak tanggal 23 Maret 2020 yang lalu, terjadi eksodus / mudik massal dari pekerja migran dari kota besar seperti New Delhi dan Bombay. Mudik massal tetap terjadi meskipun pemerintah menyediakan makanan dua kali sehari berupa nasi dan sup lentil (sejenis kacang-kacangan). Keadaannya sangat berantakan, dan yang pasti ekonomi akan terimbas luar biasa besar.
Dilema pemerintah RI : Lockdown atau tidak?
Meski banyak orang menyerukan lockdown, tapi pemerintahan pusat RI saat ini sepertinya belum setuju, tapi lebih memilih pendekatan yang social & physical distancing seperti di Belanda yang mungkin bisa dibilang “lockdown ringan” dengan melakukan pembatasan-pembatasan dimana pelanggar akan ditindak oleh pihak kepolisian, seperti dilarang berkumpul dan mengadakan aktivitas di tempat umum, penutupan kawasan wisata, kantor pemerintahan dan sekolah.
Tapi untuk ke pasar, ke rumah makan, ke pusat perbelanjaan dan mengunakan transportasi publik atau pribadi masih diperbolehkan meski dibatasi waktu operasinya dan dijaga ketat.
Saat ini, seruan lockdown oleh pemerintah daerah belum dapat restu dari pemerintah pusat. Maka itu pemerintah tidak bisa memberikan sanksi baik denda ataupun hukuman kurungan kepada yang melanggar. Di beberapa daerah seperti Tegal, mengabaikan instruksi pusat dan telah melakukan lockdown dengan memblokir empat ruas jalan utama menuju Tegal. Demikian juga ada dusun di Jawa Tengah yang takut ada orang luar atau pemudik yang membawa virus dengan sengaja atau tidak sengaja ke dalam daerah mereka. Saya bisa memahami pemerintah daerah melakukan hal ini karena kuatir warga yang mudik membawa virus untuk menulari penduduk di daerah, belum lagi rumah sakit dan tenaga medis di kota kecil tidak berpengalaman dan kompetensi untuk menangani hal seperti ini akan berujung ke malapetaka.
“Yang kita inginkan seperti di Netherland itu sekarang, kan lockdown namanya di sana, kalau di kita, karantina wilayah namanya, jadi orang masih boleh berjalan, bahkan tadi cucu saya di sana masih jalan-jalan ke taman, tapi dijaga, enggak boleh jarak sekian,”
Mahfud MD, menkopolhukam RI
Presiden RI Joko Widodo secara cukup jelas mengatakan beliau tidak mendukung lockdown dalam arti membatasi warga untuk keluar masuk suatu wilayah, khususnya ibukota (setidaknya sampai hari ini). Yang saya pahami adalah jika ada lockdown, ada biaya yang besar yang perlu dikeluarkan negara untuk menyantuni warganya dari hal kebutuhan dasar seperti makanan, tapi juga loss income (pendapatan yang hilang akibat lockdown, misalnya tidak bisa bekerja dan berusaha). Hal tersebut yang saya pikir merupakan kendala utama. Selain itu dengan adanya lockdown sebuah wilayah otomatis ekonomi di kota tersebut akan mati karena banyaknya usaha di wilayah tersebut kesulitan untuk mendapatkan sumber daya dan hal ini otomatis mengurangi pendapatan negara juga secara drastis.
Kebetulan dua bulan lagi umat Islam akan merayakan hari raya Idul Fitri (23-24 Mei 2020). Kira-kira seminggu sebelumnya biasanya belasan sampai puluhan juta orang akan mudik dari kota besar ke daerah asalnya. Jika lockdown dilakukan dalam waktu dekat, maka mudik massal seperti yang terjadi di India akan langsung terjadi. Meskipun jalan-jalan ditutup, orang-orang tetap akan mudik dengan caranya masing-masing. Rasa lapar lebih menakutkan daripada virus flu.
Maka dari itu, pilihan pemerintah pusat sampai saat ini tetap ke pengetatan kedisiplinan untuk social-physical distancing. Tapi masalahnya, himbauan dan aturan tanpa ada penegakan hukum juga tidak akan efektif. Kita bisa belajar dari Italia yang terlalu longgar sehingga korban jiwa sudah diatas 10.000 orang dan masih terus bertambah.
Jika kampanye social distancing skala besar gagal lagi, kemungkinan pemerintah pusat akan meningkatkan status negara ke darurat sipil. Artinya pemerintah bisa mengerahkan kepolisian atau aparatur negara lainnya untuk membatasi orang untuk keluar rumah, menyadap dan melacak individu (via ponsel, cctv), melarang orang berkumpul, sampai memeriksa orang. Intinya di kondisi darurat sipil. Hak kebebasan individu akan jauh berkurang dan saya pribadi tidak berharap itu terjadi.
Apa yang harus kita lakukan?
Apapun yang terjadi, angka orang yang terinfeksi belakangan ini bertambah banyak. Tanggal 31 Maret 2020, Gubernur DKI Anies Baswedan mengatakan sudah ada 283 orang meninggal di Jakarta dan dikuburkan dengan mengunakan prosedur pemakaman penderita Covid-19. Info ini menarik, karena secara resmi, pemerintah baru mengumumkan 122 orang saja, dan ini adalah jumlah nasional, bukan Jakarta saja. Jadi yang meninggal karena Covid-19 mungkin sekitar 250-300an. Jika angka rata-rata kematian 2%, maka orang yang telah terinfeksi di Indonesia sudah kurang lebih 12-15 ribu jiwa, jauh lebih tinggi dari 1414 yang dilaporkan pemerintah per 31/03/2020.
Artinya bulan April 2020 ini adalah bulan yang kritis buat kita semua. Angka infeksi akan bertambah dan angka kematian akan meningkat. Maka dari itu, sebaiknya kita tetap #dirumahaja Dengan demikian, rantai transmisi virus ini akan cepat berhenti.
Selama wabah Covid-19 sebaiknya belanja #dirumahaja via toko online seperti Tokopedia, Bukalapak atau Shopee
Jika tertarik dengan fotografi, silahkan kunjungi artikel kami yang lain atau di youtube Infofotografi
Terima kasih tulisannya, mudah dipahami. Tetapi mungkin lebh berguna jika dapat dikaitkan dengan fotografi karena situs ini adalah situs tentang fotografi.
Komprehensif dengan bahasa yang mudah memberikan pemahaman. Semoga pandemi ini segera berlalu supaya bisa hunting bareng lagi.