Tujuan fotografi kita salah satunya adalah untuk berbagi kepada orang lain. Perkembangan media sosial seperti facebook, google+, flickr, dll membuat acara sharing ini menjadi mudah.
Meskipun demikian, banyak fotografer masih mengurungkan niatnya untuk berbagi karena kurang percaya dengan kualitas foto sendiri. Media sosial membuat fotografer berpikir berulang-ulang dan takut apakah fotonya akan diterima dengan baik oleh teman-temannya dan masyarakat luas. Karena takut respon negatif, atau kurang direspon, maka fotografer tersebut menjadi ragu untuk menampilkan foto apa adanya.
Untuk mengkompensasikan kekurang-percayaan atas fotonya sendiri, banyak orang yang mengunakan editing yang hasilnya seringkali membuat lebih buruk dan tidak jujur. Sebenarnya, foto yang di edit secara berlebihan membuat masyarakat yang melihat foto tersebut malah ikut tidak mempercayai foto tersebut.
Contohnya adalah teknik pengeditan seperti HDR, instagram (aplikasi Iphone), filter / action photoshop dan sebagainya. Dengan pengeditan ini, fotografer merasa lebih nyaman dengan hasil fotonya. Tapi dengan pengeditan berlebihan dan “hantam kromo” semacam ini, maka foto yang tadinya bagus, jujur dan jelas menjadi kabur tertutup dengan tirai “make-up” editan.
Contoh lain, di foto iklan dan foto di majalah-majalah. Banyak yang telah mengalami pengeditan sehingga tidak alami lagi. Misalnya selebriti yang kulitnya sangat mulus dan pinggangnya sangat ramping. Dengan banyaknya foto yang diedit secara berlebihan, masyarakat menjadi tidak percaya lagi dengan fotografi. Akhirnya terbentuk lingkaran ketidakpercayaan yang tidak berakhir.
Selain itu, fotografer yang kurang pede juga biasanya memberikan deskripsi yang terlalu berlebihan di judul atau keterangan di fotonya. Padahal foto yang bagus akan bercerita dengan sendirinya dan tidak membutuhkan terlalu banyak keterangan.
Ada dua jenis fotografer yang bermasalah berkaitan dengan kepercayaan:
- Fotografernya percaya dengan hasil karyanya, tapi teknik fotonya memang belum bagus saat pemotretan.
- Fotonya sudah bagus, cuma yang moto senantiasa kurang pede dengan hasilnya.
Solusi untuk yg fotografer pertama relatif mudah, belajar dan foto lagi teknik yang lebih baik. Dengan rajin belajar foto dan latihan melihat, maka tidak terasa kualitas foto kita akan meningkat.
Kualitas foto kita meningkat karena kita sudah menguasai teknik-teknik foto, semakin mengenal peralatan kita (kamera, lensa, flash, dll) sehingga semakin mudah mengekspresikan maksud kita. Secara otomatis masyarakat yang melihat foto tersebut akan dapat memahami apa yang ingin kita sampaikan.
Untuk yang kedua, menumbuhkan kepercayaan diri dari dalam diri sendiri seringkali malah lebih sulit. Solusinya adalah mencari mentor yang bisa membimbing dan mengarahkan ke arah yang positif. Dengan menguasai ilmu fotografi dan seni, maka seseorang akan menjadi lebih pede dengan hasil karyanya.
Sebenarnya rasa keindahan itu relatif karena menyangkut seni dan selera. Yg penting oldig jangan berlebihan, jangan sampai foto jd tampak ganjil atau seperti negeri peri…
Menurut saya,fotografer yg baik tidak oldig yg ekstrim,cukup dengan dodging dan burning saja.Saya jg sangat tidak menyukai foto2 yg oldig ekstrim bngt.Bnyak saya jumpai di instagram,flickr,pics500x yg membuat foto2 hdr sampai sangat membosankan karna jauh dr kondisi real.Yang suka oldig ektrem pantas disebut digital artist/sotoshop.Bagi yg kerja di foto studio wajar2 aja krna tuntutan konsumen tp yg mau disebut fotografer dodging dan burning adalah yg pantas….(ini menurut saya yg pemula bngt)mksh n salam peace
Oke om…salam dari malang 🙂
Kalau main contras gimana om??
@Pangky gak masalah tapi usahakan supaya tidak terlalu berlebihan ya 🙂
foto yang sudah saya dapatkan lebih suka saya edit kembali , apakah itu bisa disebut sbg fotografer ?
@shania kalau editnya termasuk manipulasi foto namanya lebih ke digital artist. Keren kan? hehe
Menurut saya ok2 saja memakai sentuhan software pengolah foto, dari jaman film rol juga telah dilakukan sentuhan di Kamar Gelap, hehe… Setuju dg komen diatas, olah digital yg wajar2 aja, untuk memperbaiki kontras, sdikit kroping, saturasi dan tidak menambah + mengurangi foto tsb. Lain halnya untk kita nikmati sendiri atau untk keperluan komersil, kita bebas beroldig & mau gak mau harus menyenangkan client, menuruti apa kemauannya dia thd foto tsb…
Pak Enche…. makakasih buat infonya. Saya banyak baca rubrik ini tempat ini dan itu sangat membantu bagi saya sebagai seorang yang gandrungi hobi jepret namun miskin pengetahuan. Jarang yang mau bagi ilmunya secara open source untuk umum. Saya tunggu post rubrik yang lain untuk melengkapi pengetahuan saya. Tq.
percuma punya kamera harganya sampai puluhan juta terus setelah foto di edit pakai photosop..mubazir
Kepercayaan diri seorang fotografer terhadap hasil karyanya sangat mutlak diperlukan ketika ia memutuskan akan menjadikan fotografi sebagai mata pencahariannya dan media ekspresi diri.
kesan saya dg pak enche, beliau pintar menjelaskan cara memotret, mengenal alat dan lainnya, walau saya belum begitu tau karya2 fotonya, tp disinilah kelebihan beliau, banyak fotografer yg ahli dan terkenal tp sangat sedikit yg mau berbagi ilmu dengan seorang pemula….salam.
#setuju & tidak setuju
saya sejutu dgn penggunaan photoshop apabila digunakan untuk memperbaiki foto,selama itu tidak berlebihan dan mempunyai tujuan kreatif..mmg ukuran berlebihan dan kreatif berbeda bagi setiap org..tp kita bisa mengacu pada contest2 fotogafi yang membatasi penggunaan photoshop sebatas cropping,koreksi warna,dodging dan burning..karena di era foto digital..kita tentu tidak mau kamera mengambil keputusan terakhir (itulah fungsi format RAW)
namun saya tidak setuju jika photoshop digunakan secara berlebihan,sehingga foto tersebut kelihatan tidak original lg..seperti penggunaan filter pixel bender yg membengkok2 kan pixel…hehehe
tapi sekali lg bahwa di era foto digital..penguasaan kamera belum lah lengkap tanpa di ikuti penguasaan software editing
BTW..yg komen pake nick Rarindra_ apakah benar2 rarindra prakarsa yg terkenal itu..? wow 🙂
@haryadi bisa kedua2nya tapi kalau yg fokusnya lebih banyak ke oldig saya kira lebih ke fine art (contohnya lukisan)
@nova boleh, silahkan
@rarindra thanks hehehe
Fotografer punya pasar tersendiri fotoshoper juga. Jadi anda tinggal pilih mau yang mana. Gitu aja ko repot
Pantesan bung enche jago nulis buku. Memang tulisannya bisa menjual, tp fotonya saya kira susah laku.
keren banget tulisannya pak enche.. boleh saya repost di blog saya? nanti saya cantumkan source dan nama penulisnya…
setuju sekali,
byk fotografer yg mengandalakan oldig sbg hasil akhir yg justru lebih ditonjolkan.
Ambil contoh Sang Master bung Rarindra P. Semua tau karya2 beliau mnjdi masterpiece indonesia di luar negeri dari olah digital. Meski byk juga yg murni jepretan.
nah, kira2. . .para photoshopper ini masuk kategori photographer atw they just good in photoshop*per?