Hari Jum’at, 16 Oktober 2015 yang lalu saya diundang Sony Indonesia sebagai media (infofotografi.com/detik.com) untuk menghadiri launching Sony A7S II regional di Pangaea, sebuah night club di dalam Marina Bay Sands.
Setelah mendengarkan ulasan fitur kamera baru dan pengalaman beberapa videografer dan seorang fotografer, akhirnya saya dan teman-teman fotografer/videografer dari Indonesia dan Asia tenggara lainnya dapat mencoba langsung Sony A7S II.
Kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk menguji jagoan di tempat gelap alias Sony A7S mk II ini. Salah satu fitur yang baru dibanding A7S generasi pertama adalah 5 axis stabilization di dalam body kamera. Maka itu, saya langsung mencoba mengujinya. Saya mengunakan lensa Sony FE 55mm f/1.8 dan mencoba memotret di shutter speed yang tergolong lambat.
Lima poros stabilization (5 axis stabilization) sepertinya ada peningkatan fleksibilitasnya, terutama terasa saat saya mencoba video panning, kameranya stabil, videonya masih bisa dinikmati. Untuk foto, sedikitnya ada peningkatan 1-2 stop dari Sony A7 II. Kemungkinan karena megapixelnya tidak terlalu banyak, jadi lebih mudah menstabilkannya.
Saya mencoba Sony A7S II dan lensa Sony Zeiss FE 55mm f/1.8. Lensa ini tidak memiliki stabilizer. Di kamera Sony A7 II yang diluncurkan akhir Desember 2014, saya baru bisa memotret dengan shutter speed 1/30 detik saja, lebih lambat dari itu sudah sulit untuk mendapatkan ketajaman maksimal di tingkat piksel.
Di kamera A7S II, saya dapat mendapatkan foto yang tajam secara konsisten di 1/10 detik dan bisa diterima / acceptable sharp di 1/8-1/6 detik. Saat mengunakan 1/4-1/2 detik, sebagian besar hasil foto sangat goyang, menyerupai efek gempa bumi. Tapi kalau berhati-hati sekali dan memotret berulang kali, kita bisa mendapatkan foto yang cukup tajam.
Jadi, memang terasa peningkatan dari Sony A7 II dan apalagi A7S generasi pertama yang tidak ada stabilizernya. Jika dipasang dengan lensa yang memiliki peredam getar, sepertinya akan lebih efektif lagi.
Sensor image tetap sama dengan A7S generasi pertama, yaitu 12 MP full frame, dengan rentang ISO 50-409600, perbedaannya tapi mudah memulihkan detail di ISO tinggi karena sudah tersedia pilihan uncompressed RAW (14 bit).
Biasanya, memulihkan detail di ISO rendah (100) mudah, apalagi saat memotret di kondisi cahaya terang, tapi kalau ISO sudah tinggi (800+) biasanya banyak kamera yang tak berdaya untuk memulihkan bagian yang gelap atau terang.
Demikianlah pengujian Sony A7S II secara singkat, kesan pertama saya cukup positif. Jika saya berkesempatan mencoba kamera ini lagi saya akan uji dan ulas lebih lanjut.
——–
Infofotografi menyelenggarakan berbagai acara untuk belajar fotografi, silahkan periksa jadwal di halaman ini.
Gilaaa. Lensa 55mm hand-held di 1/2″ tetep sharp hihihi…
Saya banyak membaca tentang Panasonic akan meluncurkan optical view finder nya pada kamera mirrorless lumix.mungkin inikah kartu turf selanjut nya dari Panasonic di edisi terbaru nya.apakah berita tersebut benar adanya ya bang??
Saya tidak pernah mendengar soal hal itu.
Mungkin ini sistem baru yang belum dipatenkan oleh Panasonic Dan baru sebatas rumor.seperti saya kutip dari
http://www.bhphotovideo.com/explora/photography/buying-guide/popular-mirrorless-cameras-how-choose
Gabungan electronic Dan optical view finder hybrid ini jika benar ada nantinya.akan disambut baik.apalagi saya sebgai aliran M4/3.oke bang ditunggu ya review selanjutnya.thanks.