Seminggu yang lalu, saya dan Enche berdebat soal pembelian 2 unit lampu Continuous Light. Biasalah, proposal perlu tanda tangan menteri keuangan keluarga :D. Padahal, dia bisa saja langsung membeli tanpa perlu bersusah payah menjelaskan dan meminta persetujuan kalau memang produk tersebut bagus. Namun ternyata, dia ingin saya juga punya pengetahuan soal lighting.
Parahnya, pertama-tama yang dikabari adalah harganya. OMG… satu continuous light harganya Rp 5.75 juta. Salah satu alasan utama untuk tidak menandatangani proposal. 🙂 Kedua, fungsinya tidak lain hanya untuk memberi cahaya tambahan ke objek yang difoto.
Hmmm.. kalau cahaya tambahan, bisa donk dengan lampu meja. Kebetulan kita punya 1 lampu meja. Alasan berikutnya, lampu meja kita itu memancarkan cahaya kuning.
Hmmm.. kalau begitu, ganti saja bohlamnya dengan yang putih. Beres bukan? Lagipula, kita juga memiliki 1 lampu LED Amaran untuk tambahan cahaya.
Lalu, dilanjutkan lagi alasan berikutnya. Dengan lampu continuous ini, kita bisa mengganti modifiernya dengan beauty dish, softbox, octabox, dan yang lainnya untuk membentuk cahaya. Hmmm… oke… saya mengalah. Lalu, meluncurlah dua unit lampu Continuous Light Visico ke kantor Infofotografi.
Awalnya, saya tidak mengerti sama sekali. Soalnya biasanya saya tidak suka ribet dan foto dengan cahaya seadanya. Toh dengan adanya tripod, bisa pakai shutter speed yang lambat saja, foto otomatis akan terang juga meskipun cahaya ruangan sedikit.
Lalu, saya diajarkan untuk menggunakan cahaya alami dari jendela. Ternyata memang beda hasilnya. Warna lebih kontras dan foto lebih bagus.
Kemudian, saya bandingkan juga dengan cahaya dari lampu meja. Karena bohlam memancarkan sinar kuning, warna-warna foto juga agak berbeda dengan aslinya. Sebenarnya ini juga bisa dikoreksi dengan menggunakan setup WB. Namun, saya pengennya yang praktis-praktis saja. Foto langsung jadi tanpa perlu ribet dengan editing yang terlalu panjang prosesnya.
Akhirnya, saya pun mencoba dengan lampu continuous. Namun, karena mau memindahkan table top dan setting-setting lampu, tanpa sengaja, saya menjatuhkan setting saya. Huhuhu… Nangis bombay.
Supaya tidak habis waktu masang kembali, saya pun bereksperimen dengan lego Wall-E.
Di foto ketiga ini, terlihat pantulan sinar dari softbox di mata sehingga membuat foto ini terlihat lebih hidup. Warna juga terasa lebih alami dan bayangan juga lebih lembut.
Kemudian, saya pun bereksperimen dengan cahaya dari jendela.
Karena foto terkesan agak gelap, saya teringat untuk mempergunakan lampu continous ini untuk menambah sedikit cahaya.
Sebenarnya, untuk hemat dan praktis, bisa saja dengan menggunakaan cahaya alami (matahari) dari jendela. Namun karena siang harinya sudah dipakai untuk urusan pekerjaan, waktu yang tersisa hanyalah di malam hari dan saya pun harus mencari akal untuk menciptakan cahaya buatan yang terkesan alami.
Alternatif pertama adalah dengan menggunakan flash. Flash jauh lebih murah dibandingkan dengan lampu continuous. Akan tetapi, untuk seorang pemula seperti saya, diperlukan ketekunan dan extra shutter count yang lumayan untuk mendapatkan foto yang saya inginkan. Bagaimana tidak? Saya harus mencoba berkali-kali untuk mengarahkan flash ke objek ataupun memantulkannya ke langit-langit atau dinding supaya cahaya yang jatuh ke objek terkesan alami. Lumayan ribet, namun hasil foto dan warnanya lebih bagus dibandingkan dengan hanya mengandalkan cahaya ruangan.
Alternatif kedua tidak lain dengan menggunakan lampu continuous. Karena lampu terus menerus menyala, kita dapat melihat cahaya yang jatuh ke objek secara langsung. Di depan lampu tersebut juga dapat dipasang berbagai jenis lighting modifier. Memang lebih praktis. Tentu saja, ada harga yang harus dibayar lebih untuk kepraktisan ini.
Dan bagi saya yang menyukai kepraktisan, okelah, saya setujui proposal pengadaan alat ini tidak dengan berat hati lagi. 🙂
Saya bantu jawab ya pak, kalau untuk kualitas gambar menurut saya lebih baik 50mm f1.8 karna lebih tajam dan lebih sedikit kromatiknya (warna hijau atau ungu di pinggiran objek). Tapi untuk penggunaan indor dengan kamera sensor crop jauh lebih bijaksana menggunakan 35mm karena sudut pandang lebih lebar dan bisa menggunakan speed 1/50 untuk menghindari foto yang bergetar, jika anda menggunakan 50mm maka speed yang di perlukan minimal 1/80.
terimakasih atas masukkannya, saya pilih 35mm 1.8 dx
maaf menyimpang sedikit ibu Iesan Liang & pak enche tjin.
saya mau nanya lebih ok, afs 50mm 1.8 / afs 35mm 1.8 dx? (untuk kebutuhan foto anak2 kecil indoor maupun outdoor).
saat ini saya pakai d3200+18-105, settingannya 1/30 – 1/80(max.nya klo lebih, gelap), f/5.6, iso auto max.3200 (indoor), tanpa flash. Jadi suka kewalahan klo anak kecilnya lari-larian.
Thanks