≡ Menu

Bagaimana sensor kamera memproduksi video resolusi 4K

Video 4K semakin dijadikan fitur wajib di kamera modern, baik itu camcorder, kamera foto bahkan ponsel. Resolusi video yang tinggi membuat banyak orang tertarik merekam video dalam format 4K, dengan harapan secara hasil akan tampak lebih tajam. Padahal untuk itu ada banyak prasyarat misal TV harus 4K juga, kartu memori mesti yang kencang dan kapasitas tinggi, hingga komputer kelas atas kalau mau videonya diedit (atau minimal punya hard disk eksternal yang banyak lah..). Tapi kali ini saya tidak sedang ingin bahas soal itu, saya lebih tertarik mencermati bagaimana setiap produsen kamera menyiasati sensornya untuk bisa merekam video. Mengapa saya bilang menyiasati? Karena kamera (dalam hal ini saya anggap kamera foto, seperti DSLR, mirrorless, prosumer, bahkan ponsel) sensornya dirancang dengan megapiksel yang sudah terlalu banyak, demi mengejar ketajaman dan detail dari sebuah foto. Kita tahu kalau sensor masa kini sudah umum di 24 MP, 36 MP, bahkan 50 MP pun ada, padahal video itu kalau Full HD kan setara dengan 2 MP saja, dan 4K itu setara dengan 8 MP saja. Lalu bagaimana implikasinya secara teknis? Kita bahas bersama ya..

Lambat laun semua produsen kamera akhirnya memberi fitur 4K video di kameranya. Tapi tiap produsen punya cara berbeda dalam merancang secara teknis bagaimana video 4K diproduksi di level sensor, dengan alasan yang berbeda juga. Meski demikian, semua produsen dihadapkan pada persoalan yang sama, yaitu beratnya memproses data video 4K yang besar. Katakanlah video 4K paling basic, hanya 8 bit 4:2:0 25 fps, itu pun sudah mencapai 100 Mbps bitrate nya, dan akan meningkat kalau pilih 50 fps (tidak semua kamera bisa 4K 50 fps). Tapi dengan spek dewa di kamera tertentu (misal Lumix GH5) maka video 4K 10 bit 4:2:2 All-I bisa diwujudkan, dengan bit rate hingga 400 Mbps (wow..!!).

Video 4K 10 bit 422 dengan 400 Mbps (All-I), atau 150 Mbps bila di mode normal (IPB)

Laju data yang sangat besar dan terus menerus ini bikin semua produsen kewalahan dalam merancang kameranya, karena beberapa hal. Pertama adalah prosesor yang dipakai harus lebih kencang dari sebelumnya, padahal prosesor di kamera bukan seperti di smartphone yang tinggal pasang Snapdragon atau Mediatek, tapi harus dirancang sendiri dan dipakai eksklusif oleh merk kamera itu (misal Canon dengan Digic dan Nikon dengan Xpeed processor). Faktor kedua adalah panas berlebih, panas ini mungkin ditemui di semua gadget modern yang kinerja tinggi dan menguras daya besar. Tapi kalau sudah berlebihan tentu tidak baik dan yang parahnya lagi panas ini tidak bisa dibuang keluar dari kamera (beda dengan kamera khusus video yang menyediakan ventilasi untuk melepas panas).

Dari sisi sensor, kita tahu kalau banyaknya piksel itu adalah sesuatu yang bisa dikuantifikasi dalam angka berupa mega piksel. Anggap sebuah kamera sensornya 24 MP, atau 6000×4000 piksel, dengan aspek rasio 3:2 yang umum dipakai untuk fotografi. Maka saat sensor ini akan dipakai untuk merekam video 4K (3840×2160 piksel) jelas ada perbedaan resolusi dan aspek rasio. Idealnya untuk rekam video 4K, sensor yang dipakai cukup 12 MP saja, karena 12 MP itu sisi panjangnya adalah sekitar 4000 piksel, hampir sama dengan panjang video 4K yaitu 3840. Tapi kini sensor kamera yang bisa 4K jarang sekali yang pakai 12 MP (kecuali Sony A7S II), maka diperlukan teknik yang bisa ditempuh untuk menyiasati perbedaan / selisih resolusi sensor ini yaitu:

Pixel skipping

Teknik ini adalah teknik yang simpel secara metode dan bisa dilakukan oleh prosesor kamera modern. Contoh dari sensor 24 MP untuk foto, hanya sebagian piksel saja yang diambil untuk membentuk video 4K, maka itu dinamai skipping (lompat). Cara ini dilakukan oleh banyak produsen kamera yang bisa 4K, dari DSLR hingga kamera action-cam. Kelemahan teknik ini adalah kualitas video yang tampak kurang baik dan bisa muncul moire akibat proses interpolasi piksel.

Pixel binning

Ini adalah teknik lama yang menggabungkan beberapa piksel menjadi satu. Ini kadang disebut dengan downscaling dan memberatkan kerja prosesor karena setiap 1/25 detik, prosesor kamera harus memproses downsize sekian banyak piksel, secara terus menerus, yang akan membuat prosesor bisa panas. Tapi keuntungan dari teknik pixel binning (dan juga pixel skipping) adalah hasil video yang didapat dalam segi field-of-view akan tetap sama dengan foto, misal lensa 16mm ya tetap akan memberikan video yang berkesan wideangle, maka itu cara ini disebut juga dengan cara full pixel readout.

Sensor cropping

Cara crop ini adalah metode yang paling ringan bagi prosesor, karena cukup mengambil sebagian area di tengah sensor saja tanpa perlu melakukan usaha keras untuk skipping atau binning. Tapi cropping akan semakin dilematis kalau sensornya punya piksel yang terlalu banyak. Contoh dengan sensor 24 MP kalau diambil tengahnya saja akan kena crop sekitar 1,5x sedangkan sensor 30 MP akan kena crop 1,83x. Apa artinya ini? Ya field-of-view yang direkam akan menjadi lebih sempit, dan lensa yang dipasang akan dikoreksi ekuivalen dengan crop factornya. Misal pasang lensa 18mm di sensor 24 MP lalu rekam video 4K maka bidang gambar yang terekam akan setara dengan lensa 28mm. Cara crop ini punya beberapa kelebihan juga, misal hasil video akan tetap bagus, dan karena prosesor tidak terlalu bekerja keras maka kamera tidak mudah panas.

Inilah ilustrasi crop area video 4K (warna merah) pada sensor 24 MP (warna biru) adalah sebagai berikut:

Ilustrasi perbandingan sensor area 24 MP dengan 4K video area, crop sekitar 1,5x

Mungkin anda pembaca masih bingung dengan uraian saya, karena kita memang sedang membahas sesuatu di level piksel yang sangat kecil, dan topik ini memang bukan hal yang mudah dicerna umum ditambah dengan aneka jargon yang asing di telinga. Tapi setidaknya disini saya mencoba mengulas bagaimana perbedaan fitur video 4K di berbagai kamera modern dan apa dampaknya bagi kita yang membelinya. Saya kerap baca di internet ada saja pihak yang menganggap 4K dengan cara sensor cropping adalah sebuah kekurangan/kelemahan, tapi saya yakin produsen melakukan hal itu tentu ada alasannya. Cara skipping atau binning memang lebih disukai karena bisa tetap mempertahankan field-of-view dari video yang direkam, tapi saran saya carilah kamera yang kalaau rekam 4K video dengan full pixel readout itu yang hasil videonya tetap baik dan kameranya tidak mudah panas saat bekerja.

Bonus: berikutnya digital video akan masuk ke era 8K, dengan resolusi sensor setara 33 MP, yang artinya mungkin tidak diperlukan lagi cara skipping, binning atau cropping lagi kalau sensor kamera dibuat di kisaran 33 mega piksel.


Ikuti kursus, workshop dan tour fotografi bersama kami, cek jadwalnya disini.

About the author: Erwin Mulyadi, penulis dan pengajar yang hobi fotografi, videografi dan travelling. Sempat berkarir cukup lama sebagai Broadcast Network TV engineer, kini Erwin bergabung menjadi instruktur tetap untuk kursus dan tour yang dikelola oleh infofotografi. Temui dan ikuti Erwin di LinkedIn dan instagram.

{ 6 comments… add one }
  • Anam June 14, 2019, 11:37 pm

    Thank you mas erwin, artikelnya informatif dan menambah wawasan saya mengenai dasar resolusi dan bagaimana pengaruh ukuran sensor secara teknis.

  • andy May 31, 2019, 11:30 am

    kira2 kamera apa Pak yg menggunakan teknologi full pixel readout?

  • Rifqi January 3, 2019, 2:30 pm

    Om, mungkin ga sih dilakukan full pixel reading tanpa terjadi nya pixel binning?

    • Erwin Mulyadi February 1, 2023, 2:53 pm

      Binning bertujuan menyesuaikan sensor kamera foto yang megapikselnya kebanyakan untuk kebutuhan video. Binning sebetulnya menguras tenaga prosesor kamera tapi kalau full pixel reading ya tidak mungkin, tidak akan kuat prosesornya. Yang ada full piksel width aja,nantinya jadi kena crop.

  • Agus September 29, 2018, 8:50 am

    Thanks Informasinya Mas Erwin

  • riez September 28, 2018, 10:01 pm

    Ini yg tidak dipahami netizen dlm menyikapi 4K nya canon..

Leave a Comment