Awal November 2019 ini, saya dan Iesan jalan-jalan ke Jepang. Kali ini memang bukan dalam rangka tour fotografi bersama teman-teman, tapi secara pribadi saja. Kebetulan ada waktu senggang dan kita sudah lama tidak ziarah ke kuil pusat Taiseki-ji.
Beberapa hari saat kami sampai di Jepang, cuaca agak mendung, tapi kami beruntung keesokannya cuaca dan cahaya semakin baik, jarang hujan dan langit cerah dan biru.
Biasanya kami naik bis ke kuil kami yang berada di kaki gunung Fuji, tapi rupanya akhir pekan tersebut adalah long weekend orang Jepang yang merayakan hari kebudayaan nasional. Jadi kami tidak kebagian tiket. Akhirnya kami putuskan untuk naik Shinkansen, mahal memang, dan kami juga tidak punya JR Pass.
Akhirnya kami naik Shinkansen non-reserved seat dari Tokyo Station, untungnya masih kebagian tempat duduk dan sekitar satu jam kemudian kami sudah tiba di stasiun Shin Fuji. Dari saya kami harus naik bis lagi sekitar satu jam dua puluh menit untuk mencapai kuil.
Setelah ziarah, saya dan Iesan mencari lokasi untuk memotret daun-daun musim gugur yang berwarna-warni. Di awal November ini agak sulit karena di beberapa tempat populer di dekat kota besar seperti Tokyo dan Kyoto belum berubah warnanya. Daerah Nikko, utara Tokyo sudah lewat masa puncaknya. Setelah melakukan sedikit riset, saya mendapatkan tempat di daerah yang lebih utara, Miyagi dan Yamagata sudah berubah warna daunnya.
Untuk menuju kedua daerah tersebut, kami bertolak ke kota Sendai (sekitar 5 1/2 jam dengan bis, 2 jam dengan kereta api cepat Shinkansen), kemudian ke lokasi wisatanya naik kereta api lagi sekitar 1-2 jam. Cukup lama dan jauh memang, tapi saya tidak merasa lama, lebih enjoy the process. Kalau memang mau incar warna daun yang lagi bagus-bagusnya memang perlu sedikit pengorbanan 🙂
Video perjalanan ke Naruko Gorge bisa ditonton di channel Youtube Infofotografi
Karena tau akan banyak jalan, saya memilih membawa kamera yang ringan-ringan saja tapi kualitasnya kalau bisa yang semaksimal mungkin. Kali ini saya juga tidak berencana me-review gear, jadi saya bebas membawa kamera favorit saya saja untuk travel light. Pilihan saya jatuh pada Leica Q (typ 116) dan Sigma DP2M. Keduanya bukan kamera baru (Q dirilis 2015, DP2M dirilis 2012). Tapi saya familiar dengan keduanya dan keduanya saling melengkapi.
Leica Q punya lensa lebar ekuivalen 28mm, dengan bukaan f/1.7 dan sensor full frame sehingga piawai dalam kondisi gelap atau untuk foto pemandangan yang luas.
Sigma DP2M ukuran sensornya berukuran APS-C, tapi teknologi yang digunakannya agak beda yaitu Foveon, yang punya tone warna yang lebih pekat dan menurut saya lebih painterly, mirip hasil kamera film daripada digital yang pakai sensor CMOS dengan filter warna Bayer. DP2M punya lensa fix juga, tapi lebih tele, yaitu 30mm f/2.8, ekuivalen dengan 45mm f/2.8. Kelemahannya? Banyak, pertama kinerjanya sangat pelan, baterai sangat cepat habis (rata-rata 50 foto per baterai), dan ISO 200 keatas kualitas gambarnya gak bagus.
Kombinasi keduanya cukup menyenangkan karena masing-masing saling melengkapi dan hasil foto tentunya saya suka keduanya. Leica Q memberikan sudut lebar dan warna natural, Sigma DP memberikan kesan yang berbeda, lebih tajam dan pekat, tapi saya harus super sabar menunggu kamera memproses gambar.
Kedua kamera juga bukan terbaru, memang, kamera yang terbaru kualitasnya pasti ada peningkatan, tapi biasanya harga dan bobot juga ikut-ikutan naik. Jadi saya coba manfaatkan apa yang ada saja dulu.
Lokasi kedua yang kami kunjungi untuk mengejar warna-warni musim gugur adalah Yamadera, sebuah kompleks kuil yang teletak di atas gunung, makanya dinamakan Yamadera (Yama = gunung, dera = kuil).
Untuk menuju kompleks kuil bagian atas, kami perlu sedikit hiking, tapi tidak masalah karena ada tangga-tangga dan disepanjang perjalanan bisa melihat pemandangan yang menarik karena bukit ini punya susunan batu dan patung-patung yang menarik.
Kami sudah beberapa kali ke Tokyo, tapi tetap ada tempat yang kami belum pernah kunjungi, salah satunya adalah pulau buatan O Daiba, yang menurut banyak wisatawan di Jepang menarik untuk dikunjungi karena banyak pusat hiburannya dan spot untuk selfie. Tapi bagi saya, selfie bukan tujuan utama, yang lebih penting adalah perjalanan dan kesempatan memotret apa yang bagi saya menarik dan memgekspresikan apa yang saya rasakan sehingga pengalaman jalan-jalan saya lebih berkesan.
Secara keseluruhan saya sangat menikmati proses perjalanan dan hunting foto saya, dan tidak menyesal hanya membawa kamera compact dengan lensa fix. Soal hasil foto apakah cetar atau tidak, itu jadi masalah kedua, apalah artinya kalau fotonya cetar tapi proses perjalanannya tidak menyenangkan.
Di perjalanan ini, Iesan menyempatkan diri untuk merekam sedikit perjalanan kami, dan menuangkannya ke video untuk ditonton di Youtube. Dua video yang sempat kami bikin ini memberikan kesan apa yang telah kami lalui dan sekaligus berbagi sedikit informasi bagaimana saya membuat fotonya.
Motret di Jepang sebenarnya tidak semahal yang diperkirakan, tapi kalau tour yang fasilitasnya komplit seperti akomodasi hotel berbintang, sewa bis dan van biayanya bisa mahal 2 sampai 3 kali lipat. Kalau bersedia naik transport umum seperti bis, kereta api, metro/subway, biaya jadi terjangkau, tapi memang lebih capek jalannya. Saya dan Iesan jalan 15.000-22.000 langkah setiap hari.
Apakah ada yang berminat jika kami mengadakan trip foto semi-backpacker ke Jepang? Jika berminat kabar-kabari saja lewat kolom komentar di bawah atau WA 0858 1318 3069.
Foto-foto lainnya bisa dilihat di instagram enchetjin
Kegiatan belajar dan trip Infofotografi lainnya bisa dibaca di halaman ini.