≡ Menu

Apakah fotografer Zaman Now sudah Merdeka?

Bulan Agustus ini membuat saya merenung, sebagai bangsa kita telah merdeka selama 76 tahun, tapi apakah sebagai fotografer/content creator apakah kita sudah merdeka?

Maksud saya arti merdeka adalah apakah kita tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu untuk memotret dan leluasa menghasilkan karya? Sekilas, kelihatannya fotografer terutama di Indonesia tergolong bebas untuk motret apa saja. Tapi kalau direnungkan lebih mendalam, kenyataannya banyak pengaruh untuk memotret dengan gaya dan cara tertentu.

Di era media sosial, banyak platform yang memasang jebakan yang dikendalikan oleh algoritma. Di Instagram misalnya, jika kita mencari foto dengan hashtag #landscape, kita akan melihat banyak foto-foto pemandangan yang indah tapi sebagian besar memiliki gaya yang sama seperti warna yang pekat, detail yang tajam dan menarik oleh mata.

Foto-foto yang dimunculkan biasanya menarik penggunanya untuk melihat, memberikan like atau comment. Dengan mempelajari algoritma tersebut, sebagian besar fotografer akan meniru yang populer dengan harapan mendapatkan jumlah like dan views yang sama banyaknya. Akibatnya foto-foto yang tampil di instagram banyak kemiripan antara satu fotografer dengan fotografer yang lainnya.

Demikian juga di platform Youtube, jika kita melihat kategori photography, maka sebagian besar yang muncul adalah review tentang kamera dan lensa merk yang populer. Merk yang populer akan banyak ditonton dan menarik fotografer/konten kreator untuk membuat lebih banyak video dengan topik yang sama.

Sebagai fotografer, sedikit alasan kita untuk tidak mengikuti tren mainstream, potensi like, follower kita akan tambah banyak, dan sekaligus mengurangi kritik atau pem-bully-an. Sebagian besar orang tidak suka menerima kritik. Contohlah sebuah foto di Facebook atau Youtube, jika ada satu orang saja yang dislike, itu juga sangat mengganggu perasaan kita. Dalam hati kita akan bertanya-tanya, mengapa orang tersebut tega untuk dislike atau berkomentar yang sifatnya mengkritik padahal perjuangannya cukup berat untuk membuat karya foto/video.

Materi ini bisa disaksikan juga di live show Infofotografi via Youtube

Pengaruh dari komunitas juga cukup terasa, misalnya jika lingkungan teman kita mengunakan kamera dan lensa merk tertentu, maka ada tekanan untuk pindah mengunakan merk dan jenis gear yang sama. Jika tidak mungkin resiko bisa dikucilkan. Pengaruh guru / senior dalam fotografi juga bisa mempengaruhi. Misalnya jika gaya fotografinya disukai oleh guru, maka penilaian terhadap fotografernya akan bagus, sedangkan yang tidak sama akan dianggap jelek. Kontes/lomba foto pun bisa menjadi pengaruh besar terhadap gaya fotografi kita. Untuk bisa menang lomba, dibutuhkan pengetahuan tentang jenis/gaya fotografi yang disenangi oleh Juri dan penyelenggara kontes tersebut.

Jika Anda adalah seorang fotografer profesional, tentunya kita tidak bebas dalam memotret dengan gaya sesuati keinginan. Selalu mengikuti tren sangat penting supaya tetap laku.

Sebagai fotografer amatir, karena pengaruh tekanan media sosial dan komunitas, hasil foto menjadi lebih penting daripada menikmati prosesnya. Hasil foto yang cetar dan like yang banyak lebih diutamakan, sehingga kita jarang menikmati proses memotretnya dan fokus untuk popularitas yang belum tentu kita bisa dapatkan sesuai harapan.

Contohnya fotografer yang mendaki gunung di malam hari untuk memotret sunrise mungkin akan merasa menderita dalam mendaki gunung karena terlalu fokus memikirkan tentang hasil fotonya, sedangkan pendaki gunung akan lebih menikmati proses pendakiannya dan menganggap pencapaian di puncak melihat matahari terbit sebagai sebuah bonus.

Karena hasil lebih penting, seringkali jalan yang ditempuh adalah jalan pintas/instant yang berpotensi menghalalkan cara dengan mengabaikan etika. Misalnya keinginan membuat foto yang dramatis membuat fotografer memotret dari jarak yang sangat dekat dengan Bhiksu yang sedang bermeditasi di candi Borobudur saat perayaan Waisak beberapa tahun yang lalu.

Soal algoritma sosial media lagi, sebagian besar lebih menghargai konten kreator yang sering posting foto/video baru, sehingga prioritas konten creator bergeser dari kualitas ke kuantitas. Semakin banyak foto/video yang diposting akan meningkatkan jumlah view, like dan peluang untuk menjadi konten viral semakin besar.

Mengapa banyak fotografer yang sulit untuk merdeka?

Sebagian besar fotografer belum merdeka karena setiap orang memiliki banyak kebutuhan. Misalnya kebutuhan finansial untuk mendapatkan uang. Secara psikologi kita juga membutuhkan pertemanan, atau tergabung dalam komunitas tertentu, dan sebagian juga membutuhkan apresiasi dan penghargaan dari orang lain untuk meningkatkan harga diri kita.

Tapi ada solusi yang dapat membantu fotografer untuk bisa merdeka, yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri, menjadi yang terbaik tanpa terpengaruh dari berbagai faktor luar yang tidak bisa kita kendalikan. Untuk bisa mengaktualisasikan diri, kita harus menemukan jenis dan gaya fotografi yang kita minati sehingga potensi kita sebagai fotografer bisa optimal.

Sudahkah kita Merdeka?

Karena begitu besar pengaruh dari luar, maka kalau dipikir-pikir, bisa jadi kita tidak sepenuhnya merdeka. Sebagian besar fotografer yang bekerja juga harus mengikuti selera pelanggan dan tren. Tapi tidak masalah, dengan mendapatkan penghasilan tersebut, kita akan bisa mengunakan uang untuk membeli waktu dan energi untuk membuat proyek foto atau video yang kita idamkan.

Menjadi merdeka tentunya sangat sulit dan butuh banyak usaha dan perjuangan, seperti kemerdekaan Indonesia dicapai dan dipertahankan dengan susah payah dan pengorbanan dan jiwa. Tapi dengan mengaktualisasi diri kita, maka kita akan bisa menjadi merdeka. Dengan mencari jalan sendiri dan tidak meniru fotografer lain.

Aktualisasi diri belum tentu kita akan sukses dan diapresiasi oleh orang lain, maka itu kita bisa merasa kesepian di puncak, tapi perasaan itu masih lebih baik daripada hidup dibawah bayang-bayang pengaruh orang lain.

Mudah-mudahan kita semua MERDEKA sebagai fotografer dan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi semua.

About the author: Enche Tjin adalah pendiri Infofotografi, seorang fotografer, instruktur fotografi, penulis buku dan tour photography organizer. Saat ini, ia bertempat tinggal di Jakarta. Temui Enche di Instagram: enchetjin

{ 0 comments… add one }

Leave a Comment