Trip Infofotografi ke Siem Reap, Kamboja tgl 6-1o Des 2016, saya membawa Panasonic Lumix GX85 dengan lensa Leica DG Summilux 15mm/f1.7, Lumix G Vario 12-32/f3.5-5.6 dan Lumix G Vario 35-100/f4.0-5.6. Trip ini merupakan perjalanan ketiga saya. Perjalanan pertama saya membawa Canon 650D dengan lensa 18-135mm. Perjalanan kedua membawa Sony A6000 dengan lensa 16-70mm.
Sebelum berangkat, saya sudah terlebih dahulu dibekali nasihat oleh Enche untuk lebih teliti memperhatikan setting kamera terutama memperhatikan ISO dan shutter speednya berhubung sensornya agak kecil (sensor 4/3, crop factor 2x).
Saya dan dua teman terlebih dahulu tiba di Siem Reap (tgl 5 Des 2016) berhubung sudah tidak ada flight ke Siem Reap tgl 6-nya. Sembari menunggu kedatangan rombongan, kami bertiga mengunjungi kuil yang letaknya tidak jauh dari hotel.
Untuk di luar ruangan dengan kondisi cahaya yang melimpah-ruah, saya tidak mendapatkan kesulitan untuk mengambil foto. Hasil foto juga tidak perlu diedit dan tajam.

Setelah itu, saya beranjak memasuki halaman kuil. Nampak di dalam rumah ibadahnya, ada seorang anak kecil yang disinari cahaya. Kondisi kontras tinggi ini ternyata sulit ditangkap oleh metering kamera. Jika saya ingin mengambil kondisi dalam ruangan terang, maka posisi anak yang disinari cahaya akan over exposure. Sedangkan jika metering nya pas di anaknya, maka ruangan di dalam akan menjadi lebih gelap.
Akhirnya saya memilih exposure yang pas pada subjek anak dan membiarkan ruangan di belakangnya gelap.
Untuk zoom detailnya, tanpa editing, hasil foto masih bisa diterima, agak soft hasilnya namun tidak blur.
Dengan menggunakan Lightroom, saya mengangkat exposure di bagian shadownya. Hasilnya muncul sedikit noise. Kemudian saya akali lagi dengan Noise Reduction dan menambah Sharpening. Untuk warnanya sama sekali tidak saya utak-atik.

Siangnya, kami bertemu rombongan dan menuju Kampong Phluk dengan menggunakan kapal. Kebetulan di trip ini, kapal kami berbeda dengan kapal yang sebelumnya yaitu ada dek di bagian atas. Yuhu…

Di sepanjang perjalanan menyusuri danau Tonle Sap, kita bisa mengambil foto pepohonan dan rerumputan yang terendam air, rumah terapung dan aktivitas penduduk mendayung perahu ataupun menyiapkan jala untuk menangkap ikan.


Untuk aktivitas penduduk, saya tidak mendapatkan satupun foto yang fokus/tidak blur. Haiya, rasanya sungguh memalukan. Padahal semua teori sudah tahu tapi sewaktu praktek di lapangan, saya juga tidak tahu mengapa bisa lupa dengan hal mendasar ini. Sebelum naik ke kapal juga sudah diwanti-wanti terlebih dahulu oleh Enche untuk memperhatikan speed. Huhu… Begini skenarionya:
Saya menggunakan mode A (Aperture priority). Sewaktu pertama kali menaiki kapal hari masih siang, saya mencoba mengambil beberapa foto dan memperhatikan speed-nya yang berkisar antara 1/800 detik ataupun 1/1000 detik. Merasa lumayan aman dengan speed tersebut dengan kondisi kapal yang bergerak, saya pun tidak mengubah settingan lagi. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan kapal menuju Kampong Phluk, kondisi cahaya rupanya berubah dengan cepat dan saat kami hampir sampai ke perkampungan tersebut, kondisi langit sudah berawan. Saya tidak memperhatikan speed yang sudah menurun sampai ke 1/100 ataupun ke 1/50 detik. Untuk kondisi memotret aktivitas penduduk dengan posisi di atas kapal yang bergerak, 1/100 detik apalagi 1/50 detik tidaklah cukup. Namun karena kapal terus bergerak maju dan aktivitas mereka tetap berjalan, pikiran untuk memperhatikan speed pun sudah tidak terlintas di otak.
Saya kira untuk selanjutnya untuk kondisi yang terus berubah dan membutuhkan refleks yang cepat begini, sebaiknya menggunakan mode manual dengan setting bukaan dan speed tertentu dulu namun membiarkan ISO yang auto saja.
Sebelum tiba di Kampung Phluk Floating Village, kami singgah sebentar ke sebuah perkampungan. Kondisi perkampungan agak menyedihkan namun anak-anak masih bermain dengan riang gembira menyambut kedatangan kami.


Hari sudah sore ketika kami tiba di Kampung Phluk. Kami pun tidak menghabiskan waktu lagi dan segera menempati sampan yang sudah menanti kami. Di atas sampan, kami mengelilingi hutan bakau. Kali ini sudah agak pintar sedikit (cieeehh.. akibat kesalahan sebelumnya), setting kamera langsung saya ubah ke mode manual dengan menempatkan speed di 1/125 (karena sampan bergerak lumayan lambat), menyetel di bukaan terbesar dan membiarkan auto untuk ISOnya.
Memang hasil foto banyak noise namun bagiku bukan masalah, yang penting foto tidak blur. Kedua foto di atas belum diutak atik noise reductionnya.

Perjalanan selanjutnya sudah didominasi dengan mengunjungi candi-candi. Beberapa candi sudah pernah saya kunjungi sebelumnya, namun ada juga candi-candi baru yang belum dikunjungi.
Di kompleks candi Koh Ker, pencahayaan di pagi hari yang bagus membuat kamera ini tidak mengalami kesulitan untuk menangkap foto.

Untuk foto melawan sinar matahari, saya juga berupaya mengambil posisi/angle supaya tidak terjadi flare yang mengganggu.

Berbagai ukiran di dinding candi juga menarik untuk difoto.

Saya merasa bersyukur bisa berulang kali mengunjungi Siem Reap. Meskipun mengunjungi candi-candi yang sudah pernah dikunjungi sebelumnya, dalam setiap trip, selalu ada saja hal baru yang bisa difoto dan dipelajari.


Saat tersulit saya rasakan sewaktu mengambil foto pertunjukan tari Apsara di dalam ruangan. Saya sudah pasrah karena dengan kamera saya yang di ISO tinggi sudah pasti akan menurunkan kualitas foto. Selain itu juga, lensa tele yang saya bawa bukaan maksimal hanya bisa f/5.6. Hasilnya sudah pasti tidak maksimal. Kalau sebelumnya saya sering stress dan ga semangat foto, kali ini saya malah santai-santai saja dan menikmati hidangan serta tarian tanpa memiliki beban harus mendapat foto yang bagus.
Saya kira sikap ini penting dimiliki yaitu mengerti dan menerima keterbatasan alat yang dipakai (bukan menyalahkan) dan disertai dengan semangat belajar supaya lebih maju.
Lalu, apakah saya tidak foto sama sekali? Tentu tidak. Saya mencoba untuk mengambil beberapa foto (hanya di awal pertunjukan) sekedar untuk mengetahui sampai di mana keterbatasan kamera ini dan apakah saya bisa menerima hasilnya dan sebagai bahan pembelajaran.

ISO 3200; f/5,6; 1/50s dan sudah melalui proses editing di LR (penambahan clarity, noise reduction dan sharpening). Ga jelek juga kok.
Yang paling saya sukai dari kamera ini adalah bentuknya yang mungil dan ringkas. Total berat kamera dan 3 lensa yang saya bawa hanya 746 gram mendapat rentang 12-100 mm (ekuivalen 24-200mm di sensor full frame). Berat GX85 (dengan kartu memory dan battery) 426gram, lensa 12-32mm 70gram, lensa 15mm 115gram, lensa 35-100mm 135gram. Beratnya kurang lebih setara dengan A6000 dengan lensa 16-70mm atau DSLR Canon 650D dengan lensa 18-55mm. Favorit saya lensa fix 15mm. Di hari terakhir tur, saya diserang sakit asam lambung (karena kebanyakan makan mangga). Untungnya bawaan saya lumayan ringan (satu tas selempang) sehingga tidak terlalu menjadi beban.
Karena bentuknya mungil, kamera ini juga nyaman saya bawa untuk hunting di jalanan dan mengunjungi pasar lokal Siem Reap.




Untuk warna, hasilnya natural (sesuai dengan apa yang dilihat). Saya juga tidak perlu bersusah untuk mengedit dan memunculkan warna yang diinginkan. Hampir semua foto tidak saya utak-atik/menaikkan saturasi warnanya. Beberapa foto malah saya kurangi saturasinya.
Fitur touch screen nya juga sangat memudahkan kita untuk mengubah setting atau fokus dengan cepat hanya dengan sentuhan jari. Selain membantu, ternyata fitur ini merepotkan juga di kala kita menggunakan viewfinder. Hidung saya yang menempel pada layar turut juga mengubah letak titik fokus. 🙂 Oleh karena itu, saya jarang sekali menggunakan viewfinder lagi.
Keunggulan lain kamera Panasonic adalah terletak di videonya. Saya terbantu dengan adanya Dual IS (stabiliser di body dan lensa). Saya sempat merekam video klip pendek selama perjalanan namun belum sempat mengutak-atik. Sekilas hasil videonya bagus karena tidak terlalu bergetar meskipun saya diatas perahu dan tidak mengunakan tripod/monopod. Sebenarnya banyak fitur-fitur yang belum saya coba seperti video 4K dan mode Post Focusnya. Mungkin fitur ini akan saya coba di kemudian hari.
Ingin ikut tour/kegiatan Infofotografi? Tour internasional berikutnya adalah ke Vietnam, tgl 13-18 April 2017. Jangan lupa cek halaman jadwal kami.
Terima kasih, Infofotografi! media yang cukup informatif dan edukatif – selalu fair – dalam memberikan saran. Setelah lama belajar dengan Sony Nex-5N akhirnya di tahun 2020 ini investasi Lumix GX85. Mohon saran untuk Flash dan TTl yg compatible dengan Lumix Gx85.
Tulisannya sederhana,namun menarik untuk dibaca. Ternyata cerita pengambilan setiap frame dalam perjalanan hunting foto seru untuk diceritakan ya… saya Gak sengaja nemu blog ini, daat cari2 info tentang user experience pengguna GX85. Kebetulan, saya baru meminang kamera ini. Saya sangat setuju dengan pendapat mbak mengenai kamera ini yang ringkas dgn fitur yg berlimpah. Itu jga jadi alasan saya mencoba pindah dr sebelumnya DSLR geng Merah ke mirrorless ini. Oh iya, ada yg mo saya tanyakan, apakah memang ada beberapa fitur di kamera GX85 ini, yg memang disable. Contohnya saya coba mau menggunakan fitu mode setting Long Lxposure NR dgn lensa kit 12-32, saya tidak bs menggunakan, posisi tidak bisa di set (baca:disable), padahal tersedia. Mungkin mbak tahu soal ini. Trims tulisannya.
Kalau mode selain Light Trail bisa? Setau saya memang ini dibatasi oleh Panasonicnya sendiri, kalau gak salah tertera di manual juga.
selamat sore,
mau tanya untuk daily, street, landscape photography dll serta peruntukan utk pemula kira-kira untuk pilihan antara panasonic lumix gx85 dan canon eos m5 bagusan yang mana ya?
terimakasih
Kalau Lumix GX85 dibandingkan dgn Sony A6000 mending pilih yg mana ya?
Buat traveling, landscape/arsitektur dan photo anak.
Sebelumnya sy pengguna DSLR dr Sony dan memiliki bbrp Lensa Sony A mount.
Karena sudah memiliki bbrp lensa A mount, bisa menambah adapter dan bisa dipakai di A6000 nya.
Namun jika hanya menggunakan lensa kit dari GX85 dan A6000 (tanpa ada tambahan lensa lain), saya lebih menyarankan GX85.
org bilang lebih baik foto noise dari pada blur, apakah liang dalam foto trip tak pernah menyimpan foto dalam format raw? dalam postingan sebelumnya pernah membahas pentingnya format 4K untuk fotografer. apakah belum di coba, saya penasaran dgn kualitas 1 frame foto dlm 4K.
interesting , pengen ikut lagi bila jadwalnya sesuai
Ditunggu keikutsertaannya pak. 🙂
Koh saya sudah nyimak artikel artikel gx85nya. tapi masih bingung lebih baik pilih gx7 atau gx85 ya? bingung karena tilt viewfindernya yang dihilangkan itu.
karena harganya saat ini sama, lebih baik pilih yang mana?
Ciii maksudnya maaf salah
Kalau senengnya tilt viewfinder ada Panasonic GX8. Kalau yang GX85 banding GX7, secara teknologi dan fitur sudah lebih baik yang GX85 (stabilizer 5 axis, kualitas gambar lebih tajam, 4KPhoto & Video).
Suatu hari pengen belajar serius ci Iesan ttg photography…
Ayu mba. Situ ada banyak kamera nganggur kok.