Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan kilas balik dulu beberapa puluh tahun yang lalu. Saat saya masih kecil, fotografi sudah sangat digemari, meskipun saat itu masih era kamera film. Album foto yang mendokumentasikan acara keluarga dari kecil masih cukup lengkap, dari saya bayi, ultah pertama sampai kedelapan. Foto-fotonya bagus-bagus karena sebagian besar dibuat oleh fotografer profesional.
Tahun 1980-1990-an menurut saya adalah masa keemasan fotografer profesional, karena di era kamera film, sedikit sekali orang yang bisa menguasai kamera SLR atau rangefinder film dengan lensa manual fokus, dan harus punya ketrampilan cuci cetak foto juga. Fotografer profesional adalah seorang spesialis dengan kemampuan khusus yang layak di bayar mahal. Saya dengar, fotografer profesional bisa mengutip bayaran yang cukup tinggi. Sebagian besar fotografer profesional saat itu bisa beli rumah dan mobil dari pekerjaan full time memotret saat itu.
Pada tahun 2000-2020an adalah masa demokratisasi fotografi. Artinya bukan hanya fotografer profesional yang bisa membeli kamera yang canggih dan membuat foto yang bagus. Di era ini, orang awam juga bisa membeli kamera digital dengan harga yang terjangkau dan akses ke pendidikan dan pengetahuan tentang fotografi terbuka lebar sehingga tidak sulit untuk membuat foto yang bagus dengan standar profesional.
Keberadaan kamera yang canggih dan terjangkau ternyata mulai meresahkan fotografer profesional. Pekerjaan fotografer pro mulai tergerus karena banyak orang awam atau penghobi foto yang sudah memotret dengan hasil yang bagus, apalagi kamera ponsel juga semakin canggih yang dilengkapi dengan teknologi computational photography. Persaingan juga makin ketat, akibat banyaknya fotografer muda yang masuk ke dalam industri. Karena kemudahan memperoleh alat dan pendidikan, banyak yang rela dibayar seikhlasnya. Untuk acara-acara keluarga, kebutuhan untuk mengupahi fotografer profesional untuk foto seperti portrait dan acara ulang tahun semakin berkurang.
Pada tahun 2030-2045, saya membayangkan bahwa untuk membuat gambar digital yang photo-realistic menjadi lebih mudah dan cepat. Contohnya misalnya jika kita ingin membuat gambar pemandangan yang indah. Daripada travel ke lokasi yang jauh, kita bisa membuat susunan awan yang realistis dengan mudah dengan mengandalkan Ai (Artificial Intelligence). Bukan hanya pemandangan, portrait manusia juga bisa dibuat dengan lebih mudah. Kemungkinan besar kita dapat membuat model yang kita inginkan dengan mudah: seberapa tinggi, seberapa besar matanya, seberapa mancung hidungnya dan sebagainya bisa diset dan dibuat oleh software.
Lantas apakah fotografi akan mati?
Sebelum menjawab, sebaiknya kita merenungkan mengapa fotografi bisa digemari banyak orang di era kamera digital di tahun 2010-2020. Menurut pengamatan saya, fotografi digital bisa booming karena banyaknya platform media sosial yang memungkinkan semua orang berbagi karya fotonya. Dengan adanya apresiasi dari teman-teman dan masyarakat umum, orang-orang menjadi lebih semangat dan bergairah untuk memotret lebih banyak dan lebih bagus.
Orang-orang yang tadinya hanya menikmati karya foto juga terpacu untuk bisa membuat karya foto yang bagus karena teman-teman mereka di media sosial bisa membuat karya yang bagus. Dipicu oleh semangat “kia su” atau tidak mau kalah, maka banyak orang membeli kamera digital terbaru dan menimba ilmu fotografi dengan semangat.
Seiring dengan perkembangan teknologi, konektivitas internet yang semakin cepat, konten audio visual saat ini lebih digemari dan diprioritaskan oleh platform media sosial besar seperti TikTok, Instagram, bahkan Youtube (shorts). Oleh sebab itu, lebih sedikit karya foto yang ditunjukkan kepada pengguna platform tersebut dan membuat apresiasi ke karya foto menjadi lebih sedikit. Dari awal tahun 2022, saya memperhatikan instagram saya dan beberapa teman-teman viewsnya berkurang kira-kira 1/2 dari biasanya.
Dengan apresiasi yang lebih sedikit, motivasi dan semangat fotografer tidak terelakkan akan terdampak dan lambat laun karya foto akan berkurang seiring dengan berpindahnya bola-bola mata ke konten audio visual.
Fotografi mungkin akan seperti seni lukis. Dahulu, pelukis adalah profesional yang sangat diandalkan untuk melukis portrait, terutama untuk pembesaran dan warna, karena fotografi di zaman itu belum bisa menghasilkan warna yang bagus dan tingkat detail/resolusi yang cukup untuk cetak ukuran besar. Tapi seiring dengan perkembangan teknologi fotografi dan alat cetak, maka banyak pelukis portrait itu beralih profesi. Tapi bukan berarti seni lukis itu punah.
Oleh sebab itu, menurut saya fotografi tidak akan mati, tapi akan berkurang baik fotografer profesional ataupun penghobi, yang masih bertahan adalah fotografer yang menyukai proses memotret misalnya portraitist akan senang berinteraksi dengan model yang menjadi subjek fotonya, fotografer travel menyukai pengalaman dalam perjalanan.
Ingin belajar fotografi? Silahkan kunjungi halaman jadwal kami.
Seperti biasa…. tulisan yg enak dibaca…. setuju Ko Enche. Fotografi tidak akan mati. Karena fotografi tidak hanya sekedar result, tapi suatu proses menghasilkan sesuatu…
Sama seperti artikel ini, ngga setiap orang bisa berproses menulis tulisan yg enak dibaca….