≡ Menu

Memanfaatkan gyroscope untuk stabilisasi elektronik saat merekam video

Bila di era fotografi kita kenal ada beberapa cara menstabilkan kamera supaya fotonya tajam saat memakai shutter lambat, seperti stabilisasi optik dan juga sensor shift, maka dalam videografi juga diperlukan cara menstabilkan video supaya tidak tampak berguncang-guncang (shaky) saat ditonton. Betul kalau cara stabilsasi optik dan/atau sensor shift juga bisa dipakai untuk menstabilkan kamera saat merekam video, tapi yang paling disarankan adalah memakai gimbal khusus supaya betul-betul stabil. Masalahnya gimbal adalah alat berbeda yang harganya lumayan, dan juga menambah bobot serta ukuran alat yang dipakai merekam video.

Kecanggihan elektronika dan komputasi membawa harapan baru dalam stabilisasi video, dimana prosesor kamera bisa menganalisa frame demi frame video dan melakukan stabilisasi digital, disebut DIS (Digital Image Stabilizer). Disini video yang sudah mengalami stabilisasi digital akan menjadi lebih sempit (kena crop) karena memang cara kerja DIS perlu membuang bagian tepi video untuk membuatnya tampak stabil. Kalau saya perhatikan, video yang distabilkan dengan DIS atau EIS kadang juga masih tampak kurang stabil, dan itu akibat algoritma dan kekuatan prosesor masing-masing merk kamera.

Prinsip kerja giroskop

Bila sejenak beralih melihat ke smartphone, yang umumnya tidak punya OIS atau sensor shift IS, maka DIS atau EIS menjadi sesuatu yang lumrah dalam perekaman video. Hanya saja, di sebagian smartphone yang prosesornya kencang dan punya giroskop hardware, stabilisasinya terlihat bagus. Giroskop sendiri adalah alat sensor yang dipakai untuk melacak rotasi atau perputaran suatu perangkat berdasarkan gerakan, dia dipakai untuk mempertahankan orientasi dari sebuah sudut agar tetap stabil. Karena data dari giroskop begitu lengkap dan presisi, maka memudahkan prosesor smartphone dalam menstabilkan video yang sedang direkam.

Lantas bagaimana dengan di kamera digital (bukan smartphone)? Setahu saya giroskop dalam kamera hanya ada di beberapa jenis kamera saja, justru lebih banyak ditemui adanya giroskop ini di lensa, yang membantu sistem stabilisasi optik lensa. Giroskop di kamera hanya ada di kamera yang memiliki sensor shift stabilizer (IBIS), dan bisa juga dipakai untuk DIS atau EIS (atau kombinasi IBIS dan DIS) tergantung dari rancangan teknis masing-masing merk kamera.

Satu pertanyaan penting, bisakah stabilisasi dilakukan di editing? Jawabannya bisa ya dan tidak. Adakalanya berhasil, kadang malah menjadi aneh videonya (mengalami jello efek). Dari sisi teknologi, kini ada kabar baik, dan mungkin akan diterapkan di semua kamera di masa depan. Daripada memusingkan soal gimbal, OIS, IBIS atau DIS, stabilisasi klip video bisa dilakukan di editing DENGAN BANTUAN DATA GIROSKOP. Dan ini mulai ditemukan di beberapa kamera Sony seperti  FX3, FX6, FX9, A7s III, A7c, dan ZV-1 yang akan menyimpan semua metadata gerakan kamera dalam 3 dimensi (x,y,z) saat videonya direkam, dan data itu bisa di loading ke software editing (sementara ini hanya dari Sony juga yaitu Calatyst Browse) untuk membuat klip video jadi stabil. Maka dengan demikian walaupun repot (ada dua proses) tapi akhirnya kita bisa dapat klip video yang stabil, mengurangi kebutuhan akan gimbal atau alat penstabil lain.

Contoh program Calatyst Browse dan tool untuk menstabilkan klip video

Beberapa catatan untuk pengguna kamera Sony yang ingin menstabilkan videonya di Catalyst Browse dari yang saya tahu :

  • pastikan kameranya mendukung gyro stabilisation data (bila tidak, masih ada harapan di firmware update di masa depan bila ada)
  • beri ruang lebih dalam framing karena tetap akan mengalami crop
  • pastikan pakai lensa satu merk yaitu lensa Sony
  • MATIKAN semua stabilisasi lain seperti OSS atau IBIS
  • gunakan shutter speed tinggi misal 1/1000 detik (ya, ini untuk rekam video)
  • jangan pilih fps terlalu cepat (umumnya 25 fps atau maksimal 50 fps saja)
  • walau resolusi 4K juga didukung, tapi karena ada crop maka saat editing baiknya video 4K itu disimpan ke resolusi lain yang lebih kecil (2K atau FHD).

About the author: Erwin Mulyadi, penulis dan pengajar yang hobi fotografi, videografi dan travelling. Sempat berkarir cukup lama sebagai Broadcast Network TV engineer, kini Erwin bergabung menjadi instruktur tetap untuk kursus dan tour yang dikelola oleh infofotografi. Temui dan ikuti Erwin di LinkedIn dan instagram.

{ 0 comments… add one }

Leave a Comment